Tema 1. Pendidikan Responsif Budaya dalam Pembelajaran Fisika
Tema
1 : Inovasi Pendidikan dan Implikasinya terhadap Perubahan Paradigma PEP
“Pendidikan
Responsif Budaya dalam Pembelajaran Fisika”
Purwoko
Haryadi Santoso
Penelitian
dan Evaluasi Pendidikan
NIM. 21701261044
Salah
satu topik yang masih sering didiskusikan dalam komunitas pendidikan fisika adalah
bagaimana kita mentransformasi lingkungan kelas kita untuk menghasilkan rasa
kesetaraan, inklusif, dan hangat diantara siswa. Linkungan pendidikan seharusnya
bisa memperhatikan pengalaman siswa termasuk hubungan antara pengajaran,
kurikulum, dan lingkungan sosial. Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan
pendekatan yang dapat digunakan untuk mentransformasi pembelajaran fisika serta
contoh penerapannya di dalam kelas. Khususnya, tema-tema umum dalam model
seperti yang relevan dengan budaya, responsif terhadap budaya, dan pendidikan
budaya berkelanjutan. Berdasarkan tema-tema ini, penerapan modelnya akan
disajikan dalam konteks pendidikan sains.
Definisi
Pendidikan Responsif Budaya
Pendidikan
responsif budaya adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang melibatkan
budaya, nilai, keyakinan, dan pengalaman yang dimiliki siswa. Sejak tahun
1990-an, berbagai peneliti telah mengusulkan kerangka untuk merealisasikan
pendekatan ini. Salah satunya adalah hasil karya
Pada
tulisan kali ini, penulis telah mensintesis model-model yang pernah
dikembangkan sebelumnya dan menyajikan suatu model yang mendekati gagasab pendidikan
responsif terhadap budaya. Dengan demikian, istilah ini yang dipilih dalam tulisan
kali ini.
Untuk
menerapkan pendekatan ini dalam praktik pembelajaran, diperlukan transformasi mindset
dan pondasi tentang proses pembelajaran. Beberapa contoh yang baik dapat
dipelajari dari berbagai sumber yang pernah dipublikasikan seperti The
Underrepresentation Curriculum yang seharusnya bisa digunakan untuk
memperkenalkan topik tentang bias sistematis. Akan tetapi, sumber ini bisa jadi
tidak menyentuh konten, pedagogi, dan penilaian dalam konteks pembelajaran
fisika.
Ketika
guru fisika mengajarkan hukum gerak Newton dan relativitas umum Einstein yang
menyiratkan pesan eksklusif bahwa siswa tidak termasuk dalam individu atau
pihak yang berkontribusi dalam konsep ini. Pendidikan responsif budaya dapat
membantu mengurangi kesan seperti ini dengan cara membangun kesadaran kritis
siswa (critical consciousness). Menurut
Perlu
diperhatikan bahwa pendekatan ini menciptakan pembelajaran asimilatif terhadap
kultur akademik yang membuat suasana keberagaman di dalam pembelajaran.
Pendidikan responsif budaya memperkenalkan siswa untuk memiliki aksi dan respon
mereka terhadap bias implisit. Nilai dan
penilaian adalah elemen pembelajaran yang bisa memperkuat bias dan penghalang
dalam mengkomunikasikan pendekatan ini. Penilaian seharusnya memberikan
kesempatan siswa untuk lebih kreatif dan mandiri dalam pembelajaran.
Model
Asset Building, Reflection, dan Connectedness (ARC)
Dengan
menggunakan model ini, penulis akan menyajikan contoh pembelajaran fisika yang
responsif terhadap budaya dalam menciptakan kesetaraan dan inklusi di dalam
kelas. Model ini berlandaskan bahwa pengajaran dan pembelajaran merupakan
bentuk pelayanan kepada siswa dan masyarakat. Model ARC(Gambar 1) dideskripsikan
sebagai berikut.
Asset
building merupakan komponen pembelajaran yang melibatkan
pengetahuan awal dan keyakinan siswa terhadap konten pembelajaran fisika. Reflection
merupakan komponen pembelajaran yang memandu siswa untuk mengidentifikasi,
menanya, dan menguji asumsi atau isu sosial dalam kehidupannya di masyarakat. Connectedness
menghasilkan keterkaitan antara siswa dan lingkungannya untuk (1) menanamkan
rasa memiliki di dalam masyarakat dan (2) mengajak siswa untuk menjadi pemimpin
sehingga dapat merasa diakui secara bermakna. Ketiga komponen pembelajaran akan
mewujudkan siswa menjadi techno-social agent of change, yaitu
orang-orang yang mampu bersuara terhadap isu yang terjadi di dalam masyarakat
dan mencari solusi berdasarkan pengetahuan dan keterampilan teknis. Konsep agen
ini paralel dengan critical science agency
Gambar
1.
Diagram Model ARC
Asset
Building : Menciptakan Ruang Prioritas Budaya
Siswa
Terkadang
kita mungkin sulit untuk menentukan konteks dimana kita akan menghubungkan
konten pembelajaran dengan budaya, keyakinan, nilai dalam diri siswa dengan
melibatkan partisipasi siswa. Di sisi lain, setiap orang pasti memiliki
pengalaman terhadap sains apakah yang diperoleh melalui pendidikan formal atau
melalui cara lain bagaimana mereka memahami dunia di sekitarnya. Beberapa pertanyaan
yang perlu diperhatikan terhadap konteks budaya yang dilibatkan adalah sebagai
berikut.
1. Bagaimana
“pengetahuan” yang diajarkan telah “diketahui” ? Contohnya, ketika mempelajari
topik gravitasi atau matematika, sebagian besar masyarakat telah memahami
konsep ini selama berabad-abad sebelum dituliskan oleh ilmuwan.
2. Untuk
apa mempelajari “pengetahuan” ini? Contohnya, motivasi sosial dan politik dapat
mendorong bahwa pengetahuan ini diperlukan untuk memahami kasus seperti bom
nuklir.
3. Apakah
ada cara lain untuk memahaminya? Contohnya, beberapa kearifan lokal pada masyarakat
tertentu telah menghasilkan pengetahuan astronomi (contohnya seperti bagaimana
masyarakat lokal mencatat rasi bintang dan mempelajari gerakannya).
4. Keterampilan
sains apakah yang dibutuhkan untuk memperoleh “pengetahuan sains”? Contohnya,
dalam pekerjaan rumah atau kelas bisa melibatkan aktivitas yang bertujuan untuk
(1) mengembangkan model ilmiah untuk menjelaskan berbagai macam fenomena dan
(2) menanggapi sudut pandang orang lain secara kritis.
Dalam
semua kasus ini, siswa akan memahami cerita tentang bagaimana guru memperkenalkan
konsep dalam pembelajaran. Dalam penerapan pembelajaran fisika pada materi
tentang astronomi, guru bisa memulainya dengan memberi tugas kepada siswa untuk
membuat rasi bintang sesuai dengan pengetahuannya masing-masing dan saling
mempresentasikan kepada temannya yang lain. Kemudian, mereka kembali bekerja secara
berkelompok untuk membahas rasi bintang yang mereka susun.
Reflection
: Berpikir Kritis Terhadap Isu Fisika dalam Masyarakat
Refleksi
dalam model ARC berarti bahwa siswa memiliki kesempatan untuk mengasah
keterampilan berpikir kritis terhadap isu-isu dalam fisika dan masyarakat yang
lebih luas. Norma-norma dalam pembelajaran responsif budaya perlu diperhatikan
agar semua siswa merasa nyaman untuk mendiskusikan isu-isu yang mereka alami
dalam kehidupannya baik yang merugikannya atau sebaliknya.
Sebagai
contoh dalam pembelajaran fisika, guru bisa mengarahkan komponen refleksi ini
kepada istilah-istilah astronomi. Dalam aktivitas ini, siswa bekerja
berkelompok melalui penugasan terstruktur dimana mereka menyelidiki
istilah-istilah di dalam astronomi, seperti nama-nama rasi bintang, nama-nama
misi antariksa, atau nama-nama eksoplanet. Kemudian, mereka menyajikan hasil
diskusinya di depan kelas dan mendiskusikan apakah terdapat bias dalam hasil
yang disajikan. Kemudian, mereka kembali bekerja berkelompok untuk memberi nama
ulang benda-benda astronomi dan akhirnya mereka refleksikan kesepakatan Internasional
Astronomical Union (IAU) sehingga mereka mengetahui apakah mereka akan
mengikuti hasil kesepakatan ini atau tidak.
Contoh
lainnya seperti penugasan siswa untuk membaca artikel tertentu dan kemudian
mereka diminta untuk membuat tanggapan. Elemen penting dalam tugas ini adalah melibatkan
opini dan perasaan siswa dalam pembelajaran sains. Semua ilmu termasuk fisika
adalah sebuah proses sosial karena dikerjakan oleh manusia dan dengan demikian
pekerjaannya dapat dipengaruhi bias yang dimiliki orang yang mengerjakannya.
Tanpa memperhatikan perasaan dan emosi sebagai informasi tentang kesetaraan dan
inklusi dalam sains, pembelajaran sains menjadi terbatas terhadap keberagaman
yang terjadi.
Connectedness
: Membangun Hubungan Sebaya Siswa dan Masyarakat
Pendekatan
kooperatif yang dilaksanakan melalui berbagai macam aktivitas merupakan
komponen ketiga dalam model ARC. Diskusi presentasi bisa digunakan sebagai
instrumen penilaian dan juga berfungsi sebagai cara siswa untuk berkomunikasi dengan
teman sekelasnya. Sebagai contoh, kegiatan physics camp yang bisa
diadakan untuk mendorong tujuan ini. Setiap siswa akan berusaha untuk
menyajikan presentasi terbaiknya dalam “upacara penutupan” kegiatan ini. Siswa
bekerja secara berkelompok untuk menyelesaikan proyeknya. Secara khusus, dengan
mengundang anggota komunitas sebagai penonton, siswa akan merasa bahwa dirinya
berarti di dalam masyarakat fisika sehingga mereka memiliki konsep bahwa mereka
adalah techno-social agents di dalam masyarakat.
Akan
tetapi, contoh sebelumnya mungkin tidak bisa disesuaikan dalam konteks
pembelajaran di kelas. Aktivitas lainnya yang bisa dikerjakan adalah membuat
siswa merancang pembelajarannya sendiri sehingga memberikan kesempatan siswa
untuk menyesuaikan preferensinya untuk dikenali oleh teman-temannya dan aktif
sebagai techno-social agents of change di dalam pembelajaran dan masyarakat.
Penutup
Pendidikan
yang relevan, responsif, dan berlanjut terhadap budaya dapat menjadi alat yang
tepat untuk menciptakan pembelajaran inklusif yang setara. Artikel telah
menjelaskan bagaimana menerapkan ide ini dalam pembelajaran fisika melalui tiga
komponen pembelajaran menurut model ARC. Tentunya pendekatan yang disajikan
masih perlu direfleksikan oleh pengalaman pembaca masing-masing yang bisa jadi lebih
relevan dari konteks yang dibahas.
Daftar
Pustaka
Basu,
S. J., Calabrese Barton, A., Clairmont, N., & Locke, D. (2009). Developing
a framework for critical science agency through case study in a conceptual
physics context. Cultural Studies of Science Education, 4(2).
https://doi.org/10.1007/s11422-008-9135-8
Freire,
P. (2013). Pedagogy of the oppressed. In The Applied Theatre Reader.
https://doi.org/10.4324/9780203891315-58
Gay,
G. (2002). Preparing for culturally responsive teaching. Journal of Teacher
Education, 53(2). https://doi.org/10.1177/0022487102053002003
Ladson-Billings,
G. (1995). But that’s just good teaching! the case for culturally relevant
pedagogy. Theory Into Practice, 34(3).
https://doi.org/10.1080/00405849509543675
Paris,
D., & Alim, H. S. (2014). What are we seeking to sustain through culturally
sustaining pedagogy? A loving critique forward. Harvard Educational Review,
84(1). https://doi.org/10.17763/haer.84.1.982l873k2ht16m77
Komentar
Posting Komentar
Silakan berdiskusi pada kolom komentar yang telah disediakan. Terima kasih.