Tema 1. Pendidikan Responsif Budaya dalam Pembelajaran Fisika

Tema 1 : Inovasi Pendidikan dan Implikasinya terhadap Perubahan Paradigma PEP

“Pendidikan Responsif Budaya dalam Pembelajaran Fisika”

 

Purwoko Haryadi Santoso

Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

NIM. 21701261044

 


Salah satu topik yang masih sering didiskusikan dalam komunitas pendidikan fisika adalah bagaimana kita mentransformasi lingkungan kelas kita untuk menghasilkan rasa kesetaraan, inklusif, dan hangat diantara siswa. Linkungan pendidikan seharusnya bisa memperhatikan pengalaman siswa termasuk hubungan antara pengajaran, kurikulum, dan lingkungan sosial. Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan pendekatan yang dapat digunakan untuk mentransformasi pembelajaran fisika serta contoh penerapannya di dalam kelas. Khususnya, tema-tema umum dalam model seperti yang relevan dengan budaya, responsif terhadap budaya, dan pendidikan budaya berkelanjutan. Berdasarkan tema-tema ini, penerapan modelnya akan disajikan dalam konteks pendidikan sains.

Definisi Pendidikan Responsif Budaya

Pendidikan responsif budaya adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang melibatkan budaya, nilai, keyakinan, dan pengalaman yang dimiliki siswa. Sejak tahun 1990-an, berbagai peneliti telah mengusulkan kerangka untuk merealisasikan pendekatan ini. Salah satunya adalah hasil karya Ladson-Billings (1995) yang diistilahkan sebagai culturally relevant pedagogy (CRP). Pendekatan ini menjembatani konten pembelajaran dengan budaya yang dialami siswa. Sebagai contoh, ketika Ladson-Billings melaksanakan penelitian di komunitas Afrika-Amerika, siswa yang berasal dari Afrika mempelajari buku teks yang berbeda dengan siswa yang berkulit putih secara spesifik. Semua siswa diberikan kegiatan “community problem solving” untuk menulis kritik terhadap isu yang dipublikasikan di koran setempat. Beberapa istilah lain juga pernah diajukan seperti culturally responsive teaching (Gay, 2002) dan culturally sustaining pedagogy (Paris & Alim, 2014).

Pada tulisan kali ini, penulis telah mensintesis model-model yang pernah dikembangkan sebelumnya dan menyajikan suatu model yang mendekati gagasab pendidikan responsif terhadap budaya. Dengan demikian, istilah ini yang dipilih dalam tulisan kali ini.

Untuk menerapkan pendekatan ini dalam praktik pembelajaran, diperlukan transformasi mindset dan pondasi tentang proses pembelajaran. Beberapa contoh yang baik dapat dipelajari dari berbagai sumber yang pernah dipublikasikan seperti The Underrepresentation Curriculum yang seharusnya bisa digunakan untuk memperkenalkan topik tentang bias sistematis. Akan tetapi, sumber ini bisa jadi tidak menyentuh konten, pedagogi, dan penilaian dalam konteks pembelajaran fisika.

Ketika guru fisika mengajarkan hukum gerak Newton dan relativitas umum Einstein yang menyiratkan pesan eksklusif bahwa siswa tidak termasuk dalam individu atau pihak yang berkontribusi dalam konsep ini. Pendidikan responsif budaya dapat membantu mengurangi kesan seperti ini dengan cara membangun kesadaran kritis siswa (critical consciousness). Menurut (Freire, 2013), kesadaran kritis muncul dalam diri siswa untuk memahami dunia di sekitarnya termasuk kedudukannya (sosial, budaya, politik, historis, konteks emosional) dan konten pembelajaran. Siswa didorong untuk mengeluarkan gagasannya secara kritis dan mengambil langkah untuk mananggapi isu yang terjadi di dalam masyarakat. Dalam contoh sebelumnya, siswa dapat menyampaikan kritiknya untuk mengidentifikasi bias terhadap individu seperti Newton dan Einstein atau mengeksplorasi aspek-aspek kehidupannya yang masih sering diabaikan.

Perlu diperhatikan bahwa pendekatan ini menciptakan pembelajaran asimilatif terhadap kultur akademik yang membuat suasana keberagaman di dalam pembelajaran. Pendidikan responsif budaya memperkenalkan siswa untuk memiliki aksi dan respon mereka terhadap bias  implisit. Nilai dan penilaian adalah elemen pembelajaran yang bisa memperkuat bias dan penghalang dalam mengkomunikasikan pendekatan ini. Penilaian seharusnya memberikan kesempatan siswa untuk lebih kreatif dan mandiri dalam pembelajaran.

Model Asset Building, Reflection, dan Connectedness (ARC)

Dengan menggunakan model ini, penulis akan menyajikan contoh pembelajaran fisika yang responsif terhadap budaya dalam menciptakan kesetaraan dan inklusi di dalam kelas. Model ini berlandaskan bahwa pengajaran dan pembelajaran merupakan bentuk pelayanan kepada siswa dan masyarakat. Model ARC(Gambar 1) dideskripsikan sebagai berikut.

Asset building merupakan komponen pembelajaran yang melibatkan pengetahuan awal dan keyakinan siswa terhadap konten pembelajaran fisika. Reflection merupakan komponen pembelajaran yang memandu siswa untuk mengidentifikasi, menanya, dan menguji asumsi atau isu sosial dalam kehidupannya di masyarakat. Connectedness menghasilkan keterkaitan antara siswa dan lingkungannya untuk (1) menanamkan rasa memiliki di dalam masyarakat dan (2) mengajak siswa untuk menjadi pemimpin sehingga dapat merasa diakui secara bermakna. Ketiga komponen pembelajaran akan mewujudkan siswa menjadi techno-social agent of change, yaitu orang-orang yang mampu bersuara terhadap isu yang terjadi di dalam masyarakat dan mencari solusi berdasarkan pengetahuan dan keterampilan teknis. Konsep agen ini paralel dengan critical science agency (Basu et al., 2009) dan transformative intellectual.

Gambar 1. Diagram Model ARC

Asset Building : Menciptakan Ruang Prioritas Budaya Siswa

Terkadang kita mungkin sulit untuk menentukan konteks dimana kita akan menghubungkan konten pembelajaran dengan budaya, keyakinan, nilai dalam diri siswa dengan melibatkan partisipasi siswa. Di sisi lain, setiap orang pasti memiliki pengalaman terhadap sains apakah yang diperoleh melalui pendidikan formal atau melalui cara lain bagaimana mereka memahami dunia di sekitarnya. Beberapa pertanyaan yang perlu diperhatikan terhadap konteks budaya yang dilibatkan adalah sebagai berikut.

1.     Bagaimana “pengetahuan” yang diajarkan telah “diketahui” ? Contohnya, ketika mempelajari topik gravitasi atau matematika, sebagian besar masyarakat telah memahami konsep ini selama berabad-abad sebelum dituliskan oleh ilmuwan.

2.     Untuk apa mempelajari “pengetahuan” ini? Contohnya, motivasi sosial dan politik dapat mendorong bahwa pengetahuan ini diperlukan untuk memahami kasus seperti bom nuklir.

3.     Apakah ada cara lain untuk memahaminya? Contohnya, beberapa kearifan lokal pada masyarakat tertentu telah menghasilkan pengetahuan astronomi (contohnya seperti bagaimana masyarakat lokal mencatat rasi bintang dan mempelajari gerakannya).

4.     Keterampilan sains apakah yang dibutuhkan untuk memperoleh “pengetahuan sains”? Contohnya, dalam pekerjaan rumah atau kelas bisa melibatkan aktivitas yang bertujuan untuk (1) mengembangkan model ilmiah untuk menjelaskan berbagai macam fenomena dan (2) menanggapi sudut pandang orang lain secara kritis.

Dalam semua kasus ini, siswa akan memahami cerita tentang bagaimana guru memperkenalkan konsep dalam pembelajaran. Dalam penerapan pembelajaran fisika pada materi tentang astronomi, guru bisa memulainya dengan memberi tugas kepada siswa untuk membuat rasi bintang sesuai dengan pengetahuannya masing-masing dan saling mempresentasikan kepada temannya yang lain. Kemudian, mereka kembali bekerja secara berkelompok untuk membahas rasi bintang yang mereka susun.

Reflection : Berpikir Kritis Terhadap Isu Fisika dalam Masyarakat

Refleksi dalam model ARC berarti bahwa siswa memiliki kesempatan untuk mengasah keterampilan berpikir kritis terhadap isu-isu dalam fisika dan masyarakat yang lebih luas. Norma-norma dalam pembelajaran responsif budaya perlu diperhatikan agar semua siswa merasa nyaman untuk mendiskusikan isu-isu yang mereka alami dalam kehidupannya baik yang merugikannya atau sebaliknya.

Sebagai contoh dalam pembelajaran fisika, guru bisa mengarahkan komponen refleksi ini kepada istilah-istilah astronomi. Dalam aktivitas ini, siswa bekerja berkelompok melalui penugasan terstruktur dimana mereka menyelidiki istilah-istilah di dalam astronomi, seperti nama-nama rasi bintang, nama-nama misi antariksa, atau nama-nama eksoplanet. Kemudian, mereka menyajikan hasil diskusinya di depan kelas dan mendiskusikan apakah terdapat bias dalam hasil yang disajikan. Kemudian, mereka kembali bekerja berkelompok untuk memberi nama ulang benda-benda astronomi dan akhirnya mereka refleksikan kesepakatan Internasional Astronomical Union (IAU) sehingga mereka mengetahui apakah mereka akan mengikuti hasil kesepakatan ini atau tidak.

Contoh lainnya seperti penugasan siswa untuk membaca artikel tertentu dan kemudian mereka diminta untuk membuat tanggapan. Elemen penting dalam tugas ini adalah melibatkan opini dan perasaan siswa dalam pembelajaran sains. Semua ilmu termasuk fisika adalah sebuah proses sosial karena dikerjakan oleh manusia dan dengan demikian pekerjaannya dapat dipengaruhi bias yang dimiliki orang yang mengerjakannya. Tanpa memperhatikan perasaan dan emosi sebagai informasi tentang kesetaraan dan inklusi dalam sains, pembelajaran sains menjadi terbatas terhadap keberagaman yang terjadi.

 

Connectedness : Membangun Hubungan Sebaya Siswa dan Masyarakat

Pendekatan kooperatif yang dilaksanakan melalui berbagai macam aktivitas merupakan komponen ketiga dalam model ARC. Diskusi presentasi bisa digunakan sebagai instrumen penilaian dan juga berfungsi sebagai cara siswa untuk berkomunikasi dengan teman sekelasnya. Sebagai contoh, kegiatan physics camp yang bisa diadakan untuk mendorong tujuan ini. Setiap siswa akan berusaha untuk menyajikan presentasi terbaiknya dalam “upacara penutupan” kegiatan ini. Siswa bekerja secara berkelompok untuk menyelesaikan proyeknya. Secara khusus, dengan mengundang anggota komunitas sebagai penonton, siswa akan merasa bahwa dirinya berarti di dalam masyarakat fisika sehingga mereka memiliki konsep bahwa mereka adalah techno-social agents di dalam masyarakat.

Akan tetapi, contoh sebelumnya mungkin tidak bisa disesuaikan dalam konteks pembelajaran di kelas. Aktivitas lainnya yang bisa dikerjakan adalah membuat siswa merancang pembelajarannya sendiri sehingga memberikan kesempatan siswa untuk menyesuaikan preferensinya untuk dikenali oleh teman-temannya dan aktif sebagai techno-social agents of change  di dalam pembelajaran dan masyarakat.

Penutup

Pendidikan yang relevan, responsif, dan berlanjut terhadap budaya dapat menjadi alat yang tepat untuk menciptakan pembelajaran inklusif yang setara. Artikel telah menjelaskan bagaimana menerapkan ide ini dalam pembelajaran fisika melalui tiga komponen pembelajaran menurut model ARC. Tentunya pendekatan yang disajikan masih perlu direfleksikan oleh pengalaman pembaca masing-masing yang bisa jadi lebih relevan dari konteks yang dibahas.

Daftar Pustaka

Basu, S. J., Calabrese Barton, A., Clairmont, N., & Locke, D. (2009). Developing a framework for critical science agency through case study in a conceptual physics context. Cultural Studies of Science Education, 4(2). https://doi.org/10.1007/s11422-008-9135-8

Freire, P. (2013). Pedagogy of the oppressed. In The Applied Theatre Reader. https://doi.org/10.4324/9780203891315-58

Gay, G. (2002). Preparing for culturally responsive teaching. Journal of Teacher Education, 53(2). https://doi.org/10.1177/0022487102053002003

Ladson-Billings, G. (1995). But that’s just good teaching! the case for culturally relevant pedagogy. Theory Into Practice, 34(3). https://doi.org/10.1080/00405849509543675

Paris, D., & Alim, H. S. (2014). What are we seeking to sustain through culturally sustaining pedagogy? A loving critique forward. Harvard Educational Review, 84(1). https://doi.org/10.17763/haer.84.1.982l873k2ht16m77


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman dan Tips-Tips Lolos CPNS Dosen Kemenristekdikti

Analisis Dimensi dan Kesetaraan Besaran

Pengaruh Suasana Kelas yang Monoton dan Membosankan terhadap Proses Pembelajaran