Ideologi dalam Filsafat Pendidikan Matematika
Purwoko Haryadi Santoso1, Marsigit2
1Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta
2Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
A.
Ideologi Pendidikan Industrial Trainer
Ideologi
industrial trainer percaya bahwa matematika adalah sebuah tubuh keilmuan
yang bersifat tetap dan netral. Ilmu matematika memiliki batas yang tegas
dengan ilmu lainnya dan dipelihara agar tidak bersinggungan dengan nilai
lainnya seperti nilai-nilai sosial. Isu-isu sosial tidak mendapatkan tempat
dalam ilmu matematika karena dianggap dapat merusak kenetralan dan objektivitas
ilmu matematika.
Tujuan
pendidikan yang dianut dalam ideologi ini mengharapkan seorang anak bisa
menghitung dan memahami nilai kepatuhan. Seorang anak diharapkan datang ke
sekolah agar mampu membaca, berhitung, dan sedikit pengetahuan ilmiah. Anak
tidak boleh mengetahui hal yang berkaitan di luar tujuan ini dan tidak dituntut
untuk memiliki standar kemampuan dasar akademik selain yang sudah ditetapkan.
Belajar
adalah suatu kegiatan yang bersifat individual dan usaha sendiri sangat
menentukan selama proses belajar. Pembelajaran diibaratkan sebagai proses
“bekerja” layaknya tenaga kerja yang bekerja keras setiap harinya. Setiap
pembelajaran adalah pekerjaan pensil dan kertas, berlatih, dan hafalan. Belajar
harus membuat anak mengerti makna tentang “usaha” dalam proses belajarnya. Anak
tidak diperkenankan untuk menghubungkan materi pelajaran dengan minatnya. Semua
yang dipelajari adalah tentang kerja keras, berlatih, dan aplikasi sehingga
sebaik-baik motivasinya adalah “kompetisi”.
Pengajar
matematika harus bersikap otoriter yang menegaskan norma disiplin yang ketat
dan pengetahuan yang diajarkan berpusat pada fakta-fakta. Mengajar adalah
kegiatan untuk menyampaikan tubuh keilmuan matematika dan guru menekankan
nilai-nilai kerja keras, usaha, dan disiplin yang ketat. Mengajar adalah
kegiatan yang menegangkan dan tidak berusaha untuk mencairkan suasana menjadi
informal agar lebih berhasil. Ideologi ini sangat berlawanan dengan ideologi progressive
educator.
Belajar
harus dilakukan melalui kegiatan yang berbasis kertas dan pensil sehingga tidak
mencoba untuk menerapkan cara lain seperti games, puzzles, atau
informasi televisi. Selain itu, guru melarang siswanya menggunakan kalkulator
karena guru menganggap ini sebuah resiko jika siswa hanya menggunakan
kalkulator saja. Pendidikan membatasi siswa untuk mengembangkan keterampilan
komputasi.
Guru
yang menganut ideologi ini menganggap bahwa terdapat hirarki masyarakat yang
mengharuskan mereka mengendalikan kedudukannya dan melihat orang di bawahnya.
Tes bersifat untuk memeriksa penguasaan pengetahuan matematika siswa dan
memastikan bahwa tugas formal sekolah sudah tercapai. Akibatnya, siswa yang
salah dalam tes diartikan sebagai kegagalan penerapan diri atau bahkan sebagai
kelalaian secara moral. Kegiatan diskusi dan kerjasama tidak diperbolehkan
karena mengarah kepada aksi menyontek dimana siswa mudah memperoleh jawaban
tanpa harus bekerja keras yang menanamkan sifat kemalasan. Kompetisi adalah hal
yang perlu ditanamkan untuk mencocokkan diri terhadap lingkungan termasuk
penghargaan sebagai simbol keberhasilkan seorang siswa dalam proses pendidikan.
Anak
dilahirkan dengan kemampuan matematika yang berbeda-beda sehingga siswa harus
dipilih berdasarkan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Menempatkan siswa yang
“lebih baik” ke kelas yang “lebih rendah” tidak diperkenankan secara moral
karena hal tersebut dianggap tidak alami menurut ideologi ini. Anak yang
inferior akan memperbaiki dirinya jika mereka bekerja keras untuk mengatasi
kemampuan yang dimilikinya. Sekolah bagus untuk siswa-siswa “pilihan”
mengisyaratkan masyarakat dikategorikan ke dalam berbagai tingkatan.
Seperti
yang sudah dibahas sebelumnya bahwa isu-isu sosial dan perhatian terhadap
kelompok masyarakat tidak mendapatkan tempat dalam pembelajaran matematika
karena akan merusak netralitasnya. Selain itu, isu rasisme, seksisme, dan
multikultural tidak dianggap dalam ideologi ini. Mereka menganggap bahwa hal
ini hanyalah propaganda politik yang bertujuan untuk merusak kultur “British”
yang dipicu oleh penganut ideologi Marxisme. “Sekolah adalah tempat belajar
bukan teknik sosial”. Oleh karena itu, ideologi ini tidak menyadari adanya
keberagaman sosial kecuali keberagaman kemampuan matematika yang dimiliki
siswa.
B.
Ideologi Pendidikan Technological Pragmatism
Tujuan
mengajar matematika adalah sesuai kebutuhan siswa agar bisa diterima di
lapangan pekerjaan. Tujuan ini memiliki tiga komponen pendukung yaitu (1) untuk
memberikan pengetahuan matematika dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia
kerja, (2) untuk mensertifikasi pencapaian siswa dalam membantu dalam
rekruitmen pegawai, dan (3) untuk melatih teknologi yang lebih canggih seperti
pada keterampilan teknologi informasi dan komputer.
Sekolah
dapat dilihat melalui dua sisi. Pertama, sekolah adalah tentang keterampilan
murni, prosedur, fakta, dan pengetahuan matematika yang merupakan konten utama
mata pelajaran yang harus dikuasai peserta didik. Kedua, matematika yang
dipelajari harus memiliki penerapan/ aplikasi. Aspek penerapan dangat penting
untuk menghidupkan matematika sehingga meningkatkan motivasi siswa belajar
matematika. Selain aplikasi seperti nilai-nilai kreativitas tidak menjadi fokus
dalam ideologi ini.
Kemampuan
dalam matematika membutuhkan seorang pengajar dalam merealisasikan penerapan
matematika dalam pandangan technological pragmatism. Meskipun siswa
memiliki bakat khusus dalam berbagai topik, guru bisa membedakan antara siswa
yang tidak berminat dan siswa yang menikmati proses pembelajarannya. Seorang
guru yang memiliki kemampuan seperti itu terlahir karena bakatnya dan pelatihan
kompetensi guru tidak berdampak secara signifikan.
Pembelajaran
matematika harus dilaksanakan melalui pengalaman praktis peserta didik.
Pengalaman memegang peranan penting agar siswa mampu menguasai pengathuan dan
keterampilan dalam matematika. Layaknya keterampilan berenang, siswa tidak akan
mampu berenang jika hanya melihat temannya. Siswa akan mampu berenang, jika
mempraktekannya secara langsung.
Guru
harus melibatkan sumber belajar untuk mengilustrasikan dan memotivasi
pembelajaran matematika. Pembelajaran bersifat praktis sehingga siswa harus
diberikan akses terhadap sumber-sumber belajar untuk memperoleh pengalaman.
Keterampilan IT sangat dibutuhkan sehingga siswa harus terbiasa mengoperasikan
komputer, berinteraksi terhadap media lainnya seperti video. Sumber belajar
diharapkan memberikan pengalaman praktis kepada siswa.
Guru
harus memiliki keterampilan mengajar dan memberikan motivasi kepada siswa yang
berhubungan dengan pembelajaran matematika. Dalam pendidikan tinggi, pendidik
harus menekankan pada pendekatan pemecahan masalah.
Evaluasi
pembelajaran dimaknai sebagai proses sertifikasi eksternal yang membuktikan
penguasaan kompetensi dan keterampilan matematika seorang siswa. Akan tetapi,
dalam dunia pelatihan tenaga kerja skill sendiri tidak cukup untuk memastikan
siswa mampu beradaptasi di masa depan dengan teknologi yang lebih canggih. Oleh
akrena itu, siswa perlu dipersiapkan beberapa skill yang akan dibutuhkan di
masa depan. Keterampilan-keterampilan ini diistilahkan sebagai keterampilan
umum (generic skill), termasuk diantaranya seperti numerasi, grafis,
literasi, komunikasi, keterampilan praktis, pemecahan masalah, membuat
keputusan, dan tanggung jawab.
Keragaman
sosial dilihat sebagai hal yang tidak penting jika tidak berhubungan untuk
sukses dalam dunia kerja. Matematika masih dianggap sebagai ilmu yang netral
dan harus bida diterapkan dalam dunia industri dan teknologi, bukan pada
budaya. Tingkatan keterampilan bekerja menjadi fokus utama yang membuktika
siswa telah menguasai teknologi yang mutakhir dan lebih canggih. Oleh karena
itu, selanjutnya dibutuhkan sebagai keterampilan standar yang harus dicapai
agar bisa diakui di dalam dunia industri.
C.
Ideologi Pendidikan Old Humanist
Tujuan
pendidika adalah untuk menyampaikan pengetahuan matematika, budaya, dan
nilai-nilai moral (values). Matematika murni yang diajarkan menekankan
pada struktur konseptual mata pelajaran matematika. Tujuannya adalah memahami
matematika dari nilai intrinsiknya sebagai bagian penting dari warisan manusia
sebelumnya, budaya, dan pencapaian prestasi. Hal ini membuat siswa menghargai
dimensi estetika dan keindahan dari matemarika murni ketika mendalaminya dalam
pembelajaran.
Sekolah
dipahami sebagai karakter ilmu matematika sendiri yaitu terstruktur sebagai
suatu tubuh keilmuan yang utuh. Semakin tinggi tingkatannya, matematika menjadi
semakin murni, kaku, dan abstrak. Siswa didorong untuk mencapai tingkatan ini
setinggi mungkin berdasarkan “kemampuan matematika” masing-masing. Ketika
mereka naik, siswa akan menuju lebih dekat terhadap matematika yang “nyata”,
dimana siswa akan temui pada tingkat universitas.
Belajar
matematika dilakukan dengan menerima dan memahami tubuh keilmuan matematika
yang sangat terstruktur dan mode-mode pemikiran yang berhubungan dengan itu.
Siswa yang berhasil menginternalisasi struktur matematika konsep tual yaitu
jaringan konsep hirarkis dan proposisi yang terhubung secara logika, hubungan
matematis dan gagasan fundamental, mencermikan organisasi keilmuan matematika.
Guru
berpernan sebagai penjelas untuk mengkomunikasikan struktur ilmu matematika
secara bermakna. Guru harus menginspirasi siswa melalui pengajaran yang menarik
dengan memperkaya pembelajaran matematika dengan soal-soal dan aktivitas
tambahan serta mengadaptasi pendekatan buku teks yang terstruktur.
Sumber-sumber
belajar dibatasi pada sumber yang menjelaskan hirarki keilmuan matematika yang
tepat. Buku teks dan media tradisional masih bisa diakui karena memiliki
struktur yang tepat dan terarah. Kalkulator elektronik atau komputer hanya
boleh digunakan untuk siswa dewasa yang telah menguasai konsep dasar
matematika. Model, media visual, dan sumber lainnya bisa digunakan untuk
memberikan motivasi atau memfasilitasi pemahaman. Akan tetapi, sumber
eksplorasi “hands-on” seperti kerja praktis tidak mendapatkan tempat dalam
matematika “murni”. Kegiatan seperti ini hanya dianggap membuat siswa
berkemampuan rendah karena tidak memahami matematika “murni”.
Kemampuan
matematika berupakan bakat yang diwariskan sehingga berhubungan dengan
intelegensi murni seseoranga. Terdapat distribusi kemampuan matematika yang
hirarkis dimana orang jenius berada di atas dan orang berkemampuan rendah
terletak di bawah. Pengajaran semata-mata membantu siswa untuk merealisasikan
potensi bakat yang dimilikinya. Pendidikan matematika hanya cocok bagi seseorang
yang memiliki bakat kemampuan matematika untuk dapat menunjukkan bakat
matematikanya.
Penilaian
formatif dalam pembelajaran matematika dapat melibatkan berbagai metode yang
bisa dilaksanakan tetapi penilaian sumatif diarahkan pada ujian eksternal.
Penilaian ini harus berdasarkan hirarki ilmu matematika dan pada tingkat
“kemampuan” matematika tertentu. Kompetisi pada penilaian ideologi ini akan
sangat menguntungkan bagi siswa yang berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan
rendah hanya sebagai peserta ujian.
Matematika
masih dianggap sebagai ilmu murni yang tidak berhubungan dengan isu-isu sosial
sehingga tidak ada tempat untuk mengakomodasi kepentingan keberagaman sosial.
Matematika harus bersifat objektif dan berusaha untuk memanusiakannya dalam
tujuan pendidikan.
D.
Ideologi Pendidikan Progressive Educator
Matematika
adalah kendaraan untuk mengembangkan seorang anak sehingga kurikulumnya harus
menekankan bahwa matematika adalah bahasan dan dalam sisi pengalaman seseorang
yang penuh kreativitas dan humanis. Proses pemecahan masalah matematika seperti
generalisasi, abstraksi, simbolisasi, strukturisasi, dan jurstifikasi lebih
menjelaskan sekolah matematika daripada hirarki konten matematika. Matematika
hanya sebagaian dari keseluruhan kurikulum sehingga penerapan matematika ke
dalam bidang lain diperbolehkan dalam sekolah matematika.
Ideologi
ini menginginkan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkontribusi pada seluruh
perkembangan peradaban manusia, mengembangkan kreativitas siswa melalui
pengalaman pembelajaran matematika. Hal ini melibatkan dua hal. Pertama
perkembangan siswa sebagai sosok pembelajar mandiri dalam kelas matematika.
Kedua, mendorong siswa untuk percaya diri, sikap positif, dan harga diri
terhadap matematika sehingga mencegah siswa memiliki pengalaman negatif yang
bisa merusak sikapnya terhadap matematika.
Kemampuan
matematika bersifat individual. Asumsinya adalah perbedaan kemampuat yang
bersifat bawaan dan diturunkan menyebabkan perbedaan perkembangan siswa. Dengan
demikian, hal ini akan menjelaskan perbedaan “kesiapan” siswa untuk mempelajari
ilmu matematika yang lebih lanjut. Akan tetapi, setiap kemampuan matematika
individu membutuhkan serangkatan pengalaman yang tepat untuk direalisasikan, jika
tidak, pertumbuhan anak mungkin terhambat.
Belajar
matematika harus membuat siswa aktif menjawab lingkungan pembelajaran, mandiri
mengembangkan diri, mengeksplorasi hubungan dan menciptakan produk hasil
belajar matematika. Pembelajaran melibatkan penyelidikan, penemuan, bermain, berdiskusi,
dan kegiatan kerja sama. Lingkungan ini membuat pembelajaran lebih kaya dan
menantang tetapi juga harus menanamkan nilai aman, percaya diri, sikap positif,
dan perasaan yang nyaman. Dengan demikian pembelajaran matematika menjadi lebih
aktif dimana siswa dapat belajar dengan bermain, beraktivitas, penyelidikan,
membuat proyek, diskusi, eksplorasi, dan discovery. Kunci kedua dalam teori ini
adalah siswa diberi tempat untuk mengekspresikan dirinya sendiri dalam
mempelajari ilmu matematika.
Matematika
harus diajarkan melalui aktifitas dorongan semangat, fasilitasi, dan penyusunan
lingkungan belajar terstruktur untuk kegiatan eksplorasi, Secara ideal,
pembelajaran akan menggunakan kurikulum yang disusun oleh sekolah dan guru yang
menawarkan kegiatan “sirkus” matematika yang berbeda di sekitar kelas dan
menggunakan proyek-proyek multi-disiplin. Peran guru adalah sebagai pengelola
lingkungan pembelajaran dan sumber-sumber belajar tanpa petunjuk yang
mengganggu dan mengancam munculnya sikap negatif yang diperoleh siswa di dalam
kelas.
Sumber
belajar adalah aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan selama pembelajaran. Kelas
harus dibuat dalam lingkungan yang kaya dengan peralatan yang terstruktur dan
perlengkapan lain yang diberikan untuk memfalisitasi pemahaman konsep
matematika. Sumber digunakan untuk menciptakan, mengekspresikan, dan membuat
karya untuk menghubungkan matematika dengan pengalaman siswa mandiri. Selain
itu, siswa dapat menentukan apakah dirinya akan mengakses sumber tersebut atau
tidak.
Penilaian
dilakukan berbasis kriteria informal yang ditentukan guru dengan mencegah
pernyataan siswa yang gagal setelah mengikuti ujian karena menjawab soal secara
“salah”. Penilaian tidak dilaksanakan untuk menakutkan siswa yang akan
menghambat perkembangan siswa. Jawaban yang salah diformulasikan dengan cara lain
tanpa menyakiti hati peserta didik.
Ilmu
matematika harus masuk dalam lingkungan budaya yang dimiliki siswa. Pendekatan
kurikulum harus memfasilitasi referensi matematika multikultural. Pembelajaran
harus menghargai asal mula siswa dan berusaha untuk mengintegrasikan aspek
kultural di dalam kelas matematika. Guru harus bisa menyisipkan kebutuhan
masing-masing siswa dan memberikan mereka dukungan emosional untuk membangun
kepercayaan diri siswa dan untuk mencegah konflik dengan siswa. Selanjutnya,
aspek-aspek positif dan netral dalam multikultural akan sangat bermanfaat.
Rasisme tidak dapat diterima untuk melindungi perasaan siswa. Ringkasnya, teori
tentang keragaman sosial bersifat individualistik dan berusaha untuk mengakomodadi
perbedaan bahasa dan kultur dan untuk memenuhi kebutuan individu yang beragam.
E.
Ideologi Pendidikan Public Educator
Tujuan ideologi public
educator adalah untuk mengembangkan masyarakat demokratis melalui
pendekatan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika. Seorang individu
didorong untuk menjadi pemecah masalah yang tangguh dan menggunakan kompetensi
matematikanya untuk menyelesaikan masalah sosial sehingga siswa belajar dalam sekolah
matematika peduli dengan lingkungan sosial. Pembelajaran melibatkan siswa untuk
terlibat dalam aktivitas matematika dalam konteks sosial dan politik. Tujuan ini
berakar dari keinginan untuk melihat bahwa pendidikan matematika bisa berkontribusi
untuk kepentingan keadilan sosial di dalam masyarakat.
Pembelajaran matematika
harus merefleksikan hakikat ilmu matematika dalam konstruksi sosial yaitu tentatif
atau berubah-ubah. Ilmu selalu berkembang oleh manusia selanjutnya, terhubung
dengan pengalaman pengetahuan, budaya, dan kehidupan sosial. Pembelajaran
matematika tidak harus dilihat sebagai pengetahuan yang diperoleh dari luar
dimana siswa tidak mengalaminya. Tetapi, matematika sebenarnya telah terlibat
dalam setiap kebudayaan dan kenyataan siswa. Dengan cara ini, pembelajaran
matematika dapat memberikan cara melihat dan juga sebagai cara berpikir.
Matematika memberikan pemahaman dan kekuatan tentang struktur abstrak dari
pengetahuan dan budaya serta institusi sosial dan realitas politik.
Teori belajar
berlandaskan pada konstruksi sosial tentang makna yang berakar dari teori asal
mula sosial dari proses berpikir menurut Vygotsky (1962) dan teori aktivitas
oleh Leont’ev (1978). Berdasarkan teori ini, pengetahuan dan makna siswa
diinternalisasikan sebagai “kontruksi sosial” yang berasal dari interaksi
sosial, negosiasi dalam makna dan keterlibatan dalam “aktivitas”. Gagasan ini
diusulkan oleh pendukung ideologi public educator antara lain Bishop
(1985), Cobb (1986), dan Mellin-Olsen (1987), dan digolongkan ke dalam
konstruktionisme sosial.
Teori ini melihat
siswa sebagai seseorang yang butuh untuk terlibat dalam pembelajaran matematika
termasuk dalam kegiatan pemecahan masalah, diskusi matematika dalam
pengalamannya, dan lingkungannya (ethnomathematics). Konsepsi dan asumsi
pembelajar harus disampaikan, dan dihadapkan dengan perspektif lain untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Hal ini diperlukan untuk
memunculkan ide-ide dalam konsep yang baru.
Kemampuan matematika
dipandang lebih luas sebagai suatu konstruksi sosial dimana konteks sosial
berperan penting dalam pengembangan diri individu dan secara khusus
dimanifestasikan sebagai “kemampuan”. Individu dipahami, dalam perspektif ini,
memiliki karakteristik yang “setara” layaknya kemampuan yang baru lagi. “Kemampuan”
ini disematkan kepada siswa sesuai dengan pengalamannya dan sesuai dengan apa
yang mereka terima dan di”label”kan oleh orang lain.
Pengajaran
matematika harus memiliki beberapa komponen di bawah ini :
- diskusi
otentik, antara siswa-siswa maupun guru-siswa, karena pembelajaran adalah konstruksi
makna sosial;
- kerja
sama kelompok, proyek, dan pemecahan masalah untuk menimbulkan rasa percaya
diri, terlibat langsung, dan menguasai mata pelajaran;
- proyek,
eksplorasi, pemecahan masalah, dan penyelidikan mandiri, untuk menanamkan
kreatifitas melalui kehendak masing-masing;
- diskusi
tentang konten pembelajaran, pedagogi, dan pendekatan penilaian yang diterapkan
untuk melatih berpikir kritis,; dan
- . materi
pembelajaran yang bersifat sosial termasuk isu ras, gender untuk melibatkan
konteks sosial dalam pembelajaran
Sumber materi
pembelajaran diambil berdasarkan pandangan bahwa proses berpikir harus aktif,
bervariasi, sosial, dan mandiri. Oleh karena itu, terdapat tiga komponen utama
sumber belajar dalam ideologi ini antara lain :
- pemberian
berbagai macam sumber-sumber praktis untuk memfasilitasi pendekatan
pembelajaran yang bervariasi dan aktif;
- pemberian
materi yang otentik, seperti koran, infografis statistik, dan lain-lain yang
berhubungan dengan konteks sosial;
- pemberian
kesempatan kepada siswa untuk mengakses sumber belajar secara mandiri.
Penilaian berusaha
untuk mencari ukuran kompetensi yang bernilai sebagai prestasi positif setiap
siswa tanpa menyematkan stereotip siswa berdasarkan kemampuan atau menetapkan
hirarki kemampuan matematika siswa. Hal ini bermakna sebagai penilaian
kompetensi yang “adil” tanpa memperhatikan gender, ras, kelas, atau variabel
sosial yang lain, termasuk menghindari adanya kompetisi dalam pembelajaran.
Berbagai macam bentuk penilaian dapat digunakan termasuk tugas-tugas dan
rekaman pencapaian, perpanjangan proyek dan ujian. Penilaian tugas dan nilai
akhir harus bersifat terbuka kepada siswa untuk didiskusikan.
F.
Referensi
Komentar
Posting Komentar
Silakan berdiskusi pada kolom komentar yang telah disediakan. Terima kasih.