Karakterisasi Aliran Filsafat Empirisme Era Modern Awal
Purwoko Haryadi Santoso1, Marsigit2
1Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta
2Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
A.
Pendahuluan
Secara
garis besar, “empirisme” adalah istilah yang disematkan pada aliran filsafat epistemologis
yang menekankan peran “pengalaman” dalam membentuk konsep, memperoleh
pengetahuan, dan menjustifikasi pengetahuan. Pada filsafat kontemporer,
beberapa penulis telah dapat mengklaim diri mereka dalam kelompok empiris
karena penekanan mereka dalam hal pengalaman. Akan tetapi, terkadang masih
terdapat perbedaan gagasan mereka dalam mendefinisikan seperti apa yang dimaksud
sebagai pengalaman, bagaimana pengalaman berhubungan dengan teori, dan bagaimana
peran pengalaman dalam menemukan dan menjustifikasi pengetahuan (Ayer 1936; Van
Fraassen 2002).
Sebaliknya,
di era modern awal, empirisme tidak disematkan secara gamblang bahwa filsuf
yang kita kenal saat ini menyebarkan doktrin dalam istilah “empiris” seperti
John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Mereka tidak mengklaim bahwa alirannya
dikategorikan ke dalam golongan filsafat empirisme. Dari sini dapat kita
ketahui bahwa, seperti yang dikaitkan dengan filsuf di era modern awal,
empirisme tidak dikategorikan sebagai suatu istilah yang sengaja dibuat oleh
pendahulunya tetapi istilah empirisme diperoleh melalui proses analisis
historiografi terhadap publikasi gagasan atau doktrin yang disampaikan secara
retrospektif khususnya jika dihadapkan untuk melawan aliran filsafat
rasionalisme yang diajukan oleh Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan G.W.
Leibniz.
Karakterisasi
empirisme mulai didiskusikan pada akhir abad kesembilan belas untuk
menggambarkan empirisme di era modern awal sebagai suatu aliran filsafat
epistemologis yang menekankan bahwa asal mula seluruh isi mental terletak pada
pengalaman (genetik) dan pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui pengalaman
secara a posteriori (epistemik). Hal ini menegaskan bahwa empirisme tidak
sepakat terhadap mental “bawaan” dan pengetahuan yang diperoleh secara a
priori. Berdasarkan sejarah sains di zaman modern awal, polarisasi kubu
aliran filsafat semacam ini biasanya dilakukan untuk melihat perbedaan antara
ilmu Kartesian rasionalis kontinental terhadap ilmu empiris Inggris Newtonian. Akan
tetapi, dalam beberapa dekade terakhir, banyak aspek dari narasi tradisional
ini dikritik sehingga topik dikotomi empirisme di era modern awal menarik untuk
dikaji lebih dalam dalam artikel ini.
B.
Sejarah Munculnya Kategori Aliran Filsafat “Empirisme”
Francis
Bacon (1561–1626) telah disebutkan sebagai pelopor perlawanan yang mahsyur
antara kubu empiris dan rasionalis (Priest 2007, 8; Van Fraassen 2002, 203)
terutama dalam hal analogi perumpamaan yang ia buat: “Kedua kubu telah menganggap
ilmu baik secara empiris [empirici] atau dogmatis [dogmatici]. Empiris bagaikan
“semut” yang hanya menyimpan dan menggunakan barang sedangkan kubu rasionalis
bagaikan “laba-laba” yang membuat jaring dari isi perut mereka sendiri” (Bacon
2004, 153). Namun, penelitian Vanzo (2014) berpendapat bahwa meskipun Bacon
menggunakan istilah dalam bahasa Latin yaitu "empiricus" atau
bahasa Inggris lainnya sebagai "empiric", Bacon tidak
memperkenalkan pandangan secara epistemologis. Ia hanya mengarahkan praktik
ilmiah yang tidak sesuai dengan definisi tradisional tentang empirisme. Bacon
mengkategorisasi sebagai “empirici” yang dipercayai oleh praktisi
filsafat ilmu alam adalah “benar” karena menyandarkan peran pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan tetapi “salah” jika menggunakan metode ini untuk menggeneneralisaikan
sebuah teori yang mewakilinya.
Selain
Bacon, filsuf asal Skotlandia di abad kedelapan belas yaitu Thomas Reid
(1710-1796) juga dianggap sebagai pelopor yang memberikan karakterisasi standar
empirisme di era modern awal. Reid mendiskusikan tiga gagasan Locke, Berkeley,
dan Hume secara berturut-turut dan bertahap yang mengungkap skeptisisme "the
way of ideas" yang diajukan oleh Descartes (Norton 1981; Haakonssen
2006). Namun, Immanuel Kant (1724–1804) selanjutnya menawarkan penjelasan
terdekat tentang apa yang bisa mengkarakterisasi makna standar aliran empirisme
(Vanzo 2013, 2014). Dalam subbab buku Kant “Critique of Pure Reason”
(1781) tentang “The History of Pure Reason”, Kant mengklasifikasikan
aliran-aliran filsafat yang telah berkembang sebelum Kant. Berdasarkan asal kulanya
kognisi alasan murni (konsep dan justifikasi), Kant membagi filsuf-filsuf
sebelumnya ke dalam dua kubu. Pertama adalah kubu empiris (Empiristen) yang
mengklaim bahwa kognisi murni berasal dari pengalaman (seperti Aristoteles dan
Locke). Kedua adalah noolog (Noologisten) yang kemudian diterjemahkan sebagai
rasionalis (Rationalisten) (seperti Plato dan Leibniz) yang berpendapat
bahwa kognisi tidak tergantung pada pengalaman dan dapat diperoleh serta
dijustifikasi dalam aktivitas penalaran (Kant 1900, III: A852–56/B880–84; XX:
275).
Selanjutnya,
akar dari karakteristik standar empirisme yang ditemukan di dalam Kant dilengkapi
oleh sejarawan Kantian Jerman yaitu Wilhelm Gottlieb Tennemann (1761–1819).
Tennemann mempertentangkan empirisme dan rasionalisme secara kaku pada seluruh
periode modern awal dan menyajikan filsafat kritis Kant sebagai sintesis dan
titik akhirnya. Dengan mengasosiasikan sistem filosofis sebagai "national
character" dalam bukunya Geschichte der Philosophie (12 jilid,
1798-1819), Tennemann menggambarkan empirisme sebagai fenomena khas Inggris yang
mulanya dikembangkan oleh Francis Bacon dan Thomas Hobbes (1588-1679) dan
kemudian dilanjutkan oleh Locke, Berkeley, dan Hume dan lainnya berasalah dari
tokoh-tokoh pinggiran Inggris dan non-Inggris seperti Pierre Gassendi
(1592–1655), Claude Guillermet de BĂ©rigard (1578–1663), Jacob Böhme
(1575–1624), dan Edward Herbert dari Cherbury (1583–1648) (Micheli, 2015).
“Paradigma
epistemologis” ini menitikberatkan sejarah filsafat dalam hal pengetahuan
(Haakonssen 2006) yang berkembang di luar lingkungan berbahasa Jerman dan
kemudian akhirnya menjadi dominan dalam kumpulan filsuf Barat pada dekade
pertama abad kedua puluh. (Vanzo 2016). Sejak saat itu, karakteristik ini
menjadi kerangka yang paling umum diterapkan untuk menafsirkan gagasan di era
modern awal untuk merepresentasi aliran filosofis di kemudian hari. Filsafat
abad kesembilan belas biasanya disebut sebagai "national philosophies"
berdasarkan replikasi divisi tripartit sebelumnya yaitu "Empirisisme
Inggris, rasionalisme Kontinental, filsafat kritis Jerman" yang
selanjutnya bergabung dalam istilah "Empirisisme/sensualisme
Prancis-Inggris, spiritualisme Prancis, idealisme Jerman” (Antoine-Mahut dan
Manzo 2019). Pada abad ke-20, dikotomi rasionalisme-empirisisme sering
diperkuat dengan dianggap sebagai pendahulu dalam membedakan antara filsafat
kontinental dan anglophone dalam filsafat kontemporer.
C.
Kritik terhadap Kategorisasi Tradisional yang Muncul
Meskipun
beberapa sejarawan masih mempertahankan pandangan tradisional empirisme yang
bersifat ideal dan normatif (Bennett, 2001; Priest, 2007), sejak tahun 1980-an
pemahaman empirisme dikaji kembali melalui peninjauan ulang dikotomi antara empirisisme
dan rasionalisme (Norton, 1981; Loeb, 1981; Cottingham, 1988; Woolhouse, 1988;
Ayers, 1998; Haakonssen, 2006; Rutherford, 2006). Pendekatan historiografi diterapkan
dalam tinjauan ini untuk menghindari terjadinya “anakronisme” dan reduksi peran
“Eurosentris” dalam fisafat pengetahuan di era modern awal. Akan tetapi, pendekatan
ini bertujuan untuk menggambarkan kompleksitas dan keragaman sikap dan doktrin
yang disampaikan tentang pengalaman, alasan, dan metode ilmiah yang diajukan
oleh filsuf-filsuf di era modern awal. Kelompok aliran filsafat (kanonik) tidak
lagi dianggap sebagai anggota partai yang berlawanan dan tertutup secara kaku. Secara
teleologis, kelompok bekerja dalam semangat menuju konformasi sistem yang
konsisten dan ideal secara internal. “Kesetiaan nasional” ditiadakan karena
bersifat klise secara historiografis sehingga tidak dapat dipertahankan. Maka,
paradigma epistemologis filsafat di era modern awal yang dibangun oleh narasi “kesetiaan
nasional” harus dikritisi. Empirisme dikarakterisasi secara lebih fleksibel dan
kompleks dengan menijau wacana dan praktik aktor, mengakui berbagai kontribusi
historis para filsud, dan memperluas batas filsafat teoretis ke dalam analisis
praktik dalam mengembangkan beberapa disiplin ilmu alam.
Oposisi
dan kontribusi yang pernah dirangkum seperti "myth of British
empiricism" (Norton 1981) telah dikritisi oleh hasil studi terbaru. Pertama,
empirisme masih berlanjut dalam aliran Kartesianisme yang dikembangkan oleh
tokoh besar filsuf alam Cartesian di Eropa (seperti Robert Desgabets
(1610-1618) dan Henricus Regius (1598-1679), yang berpendapat bahwa pengamatan,
pengalaman, dan/ atau eksperimen berperan penting untuk memperoleh pengetahuan
(Nyden dan Dobre, 2013). Kedua, pandangan empirisme berlanjut hingga ke abad
kedelapan belas melalui aliran Newtonianisme yang telah disesuaikan. Hal ini
disebabkan tidak hanya karena banyaknya sumber referensi yang digunakan Newton
tetapi juga karena di era ini empirisme dikembangkan oleh tokoh-tokoh dari
Italia, Prancis, Belanda, dan Jerman (Biener dan Schliesser 2014; Bodenmann dan
Rey 2018). Ketiga, peran filsafat eksperimental tidak diragukan lagi dalam aliran
filsafat empirisme (Gaukroger 2014; Feingold 2016). Dengan demikian, beberapa
bentuk empirisme yang berkembang selama periode tersebut merupakan hasil
pertukaran, dialog, dan interaksi antara beberapa beberapa disiplin ilmu
(filsafat alam, kedokteran, kimia, psikologi) yang menetapkan aturan metode
empiris bidang ilmu masing-masing dan kebiasaan yang sering dilakukan selama
observasi dan eksperimen (Wolfe 2010; Crignon et al. 2013; Nyden dan Dobre
2013; Bodenmann dan Rey 2018). Selain itu, untuk membedakan beberapa jenis
empirisme yang pernah ada dapat membantu kita memperoleh gambaran komprehensif
tentang sikap empiris yang pernah ada di dalam sejarah (Garrett 1997, 29-38;
Lowe 1995, 32-33).
Pengkajian
ulang untuk mengkritisi karakteristik filsafat empirisme bisa bertujuan dalam dua
hal. Pertama, usaha ini dapat melupakan kategori-kategori yang telah ada dan
menggantinya dengan perbedaan-perbedaan lain yang bersifat eksklusif. Kedua, kajian
ulang hanya mencoba untuk tidak mengidealkan kategori yang ada secara kaku sehingga
kita perlu mendefinisikan ulang secara lebih tepat untuk pemahaman yang lebih
baik tentang kategori yang pernah diajukan. Tujuan kedua tampaknya lebih bijaksana
secara historiografis karena dua alasan. Pertama, sejarah konseptual memperlihatkan
kepada kita bahwa konsep yang sudah lama ada (seperti empirisme atau aliran
lainnya) cenderung tetap ada dalam pikiran sebagian besar manusia hingga saat
ini meskipun ada kritik yang diarahkan kepada aliran ini (Bodenmann dan Rey
2018). Kedua, kita perlu memelihara tradisi untuk menganalisis karakteristik empirisme
agar tetap hidup untuk menghasilkan tulisan-tulisan akademik dalam menelusuri
hasil pemikiran tokoh-tokoh di era modern awal yang secara tidak langsung
mereka berkontribusi dalam aliran ini serta untuk menggambarkan sikap oposisi
dan kesetiaan terhadap teori pengetahuan sepanjang sejarah.
Oleh
karena itu, pendekatan kritis terhadap kategorisasi empirisma dimulai dengan
menempatkan narasi historis yang lebih luas mengingat pemikiran-pemikiran kuno
yang pernah ada tentang pengetahuan dan pembentukan konsep. Oleh karena itu,
rasionalisme juga dapat dipahami sebagai tradisi yang diturunkan dari pemikiran
Plato yang mempertahankan pandangan bahwa yang mengatur dunia berdasarkan
prinsip-prinsip sesuai dengan logika manusia (Ayers, 2007; Lennon, 1993).
Namun, pendekatan hermeneuitis seperti ini harus berusaha menghindari dua
kesalahan yaitu masalah antagonisme dan binarisme. Pertama, narasi hostoris
yang menekankan pada “pertempuran” antara empirisme dengan rasionalisme menyebabkan
kategorisasi yang dihasilkan cenderung normatif dan diidealisasi. Kedua, kita
tidak berhak untuk menyimpulkan bahwa filsafat tentang pengetahuan periode
modern awal dibagi ke dalam dua kelompok yang saling eksklusif dan tidak ada
pilihan lain. Dengan demikian, perspektif hermeneutis diperlukan untuk
menghindari prasangka antagonisme dan binarisme sehingga memunculkan pemahaman
yang lebih baik tentang kategorisasi empirisme untuk menunjukkan keberagaman
pemikiran era modern awal. Kemudian, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa
tokoh empiris boleh saja mendukung tesis tokoh rasionalis tanpa harus
menganggap mereka tidak setia sebagai pemikir empiris. Oleh karena itu, memperbaiki
narasi terdahulu dengan menerapkan kategori aktor seperti "experimental
philosophy" dan "speculative philosophy" seperti yang
disarankan Anstey (2005) dapat membantu memahami pemikiran tokoh-tokoh tertentu
pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, khususnya di lingkungan Royal
Society. Namun, jika narasi ini dipangang dari perspektif binaris dan
antagonis akan menunjukkan kelemahan narasi tradisional.
D.
Gambaran Empirisme Era Modern Awal
Seperti
yang telah kita ketahui, narasi standar pasca Kant menganggap Francis Bacon dan
Thomas Hobbes adalah tokoh utama empirisme modern awal. Seperti yang telah
dikatakan, “pernyataan genetik” berlawanan dengan pemikiran “bawaan” (innatism).
Tetapi perlu dicatat bahwa apa yang ditolak oleh anti-innatisme adalah
nativisme dari isi mental dan bukan dari fakultas, operasi, disposisi, atau
prinsip-prinsip asosiasi pikiran manusia.
Setelah
klarifikasi ini dibuat, pendirian Francis Bacon tidak menawarkan cukup bukti
untuk menyimpulkan bahwa bahwa dia adalah pendukung kuat “pernyataan genetik”.
Dia mungkin akrab dengan diktum yang tersebar luas, sering dikaitkan dengan
Aristoteles, nihil est in intelligenceu quod non fuerit in sensu (tidak
ada suatu pikiran yang tidak berasal dari penerimaan indera) (Cranefield, 1970;
Wolfe, 2018). Beberapa jejak prinsip ini dapat ditemukan dalam klaim Bacon
bahwa proses kognisi dimulai dalam indera, "pintu intelektual"
melalui hal-hal tertentu yang masuk ke dalam pikiran manusia (Bacon 1857-1874,
1: 494 –495, 2004, 342–343). Demikian juga, Bacon mengatakan "dari hal-hal
yang sama sekali tidak diterima oleh indra, tidak mungkin menjadi imajinasi dan
bahkan tidak mungkin menjadi mimpi" (Bacon 1996 VI 96-99). Namun, ini
tidak berarti bahwa Bacon menyanggah bawaan isi mental secara eksplisit. Adapun
“justifikasi pengetahuan” yang merupakan alasan terkenal tokoh
eksperimentalisme dalam periode modern awal, Bacon percaya bahwa pengetahuan
tentang alam harus dibenarkan secara a posteriori. Literatur umum
mungkin akan menganggap Bacon berpihak pada "semut" dari
perumpamaannya yang terkenal. Tapi, Bacon tampaknya berpikir bahwa kegagalan
empiris/semut bahkan lebih buruk daripada para rasionalis/laba-laba (Bacon
2004, 100-101). Bahkan, Bacon menegaskan bahwa pilihan terbaik diwakili oleh
lebah yang menggabungkan "kemampuan eksperimental dan rasional" yang sama-sama
berharga dan diperlukan untuk memperoleh pengetahuan. Singkatnya, meskipun
pernyataan epistemik dapat ditemukan, pernyataan genetik tidak cukup kuat untuk
menganggap Bacon sebagai "pendiri empirisme modern awal."
Hobbes
secara eksplisit mendukung pernyataan genetik dengan mengadopsi diktum nihil
est dan dengan mengembangkan teori tentang persepsi yang tidak hanya
menyangkal bawaan dari isi mental tetapi juga terlibat dalam deskripsi
materialis dari proses kognisi (Hobbes 1996, 1–2) . Tidak seperti Bacon, Hobbes
bukanlah seorang filsuf eksperimental dan dia tidak menganggap bahwa justifikasi
akhir dari setiap jenis ilmu pengetahuan dapat bersifat a posteriori.
Geometri adalah ilmu yang menghasilkan model untuk ilmu pengetahuan. Dia
percaya bahwa bukti proposisi universal tidak dapat diperoleh dengan bantuan
indera dan ingatan, karena mereka dapat salah dalam memberikan informasi
tentang contoh-contoh tertentu. Model geometri dapat menggeneralisasikan hal-hal
yang bersifat khusus dan membangun rantai deduksi dengan cara komputasi (Hobbes
1996, 9). Oleh karena itu, matematika dan ilmu teknik sipil adalah ilmu yang
membuat objeknya sendiri yang berada dalam posisi yang lebih baik untuk
mencapai kepastian daripada ilmu alam yang berangkat dari pengamatan objek dan
harus menyimpulkan penyebab universalnya. Pengalaman berperan dalam justifikasi
tetapi tidak mampu mencapai pernyataan universal (Sorell, 1986).
Diketahui
bahwa sebelum Hobbes, Pierre Gassendi dari Prancis (1592–1655) sangat menganut
dua pernyataan empiris seperti yang dipahami oleh narasi tradisional. Gassendi
mengadopsi penjelasan empiris tentang asal usul ide dan mengembangkan teori untuk
menjustifikasi pengetahuan yangmenggabungkan hipotesis dengan deduksi.
Hipotesis adalah titik awal empiris sains dan harus dipertahankan selama
didukung oleh pengalaman. Deduksi memberikan bukti untuk klaim pengetahuan
empiris, tetapi karena dasar akhir dari kognisi adalah probabilistik, kita
tidak pernah dapat mencapai kepastian tentang dunia alami. Dengan demikian,
Gassendi membangun epistemologi empiris yang menolak dogmatisme, dan mempromosikan
skeptisisme moderat (Fisher, 2005).
E.
Empirisme dari Tokoh Filsafat Inggris
Ketika
mempertimbangkan siapakah tokoh utama dari pemikiran empiris, kita pasti
langsung teringat dengan segitiga Locke, Berkeley, dan Hume (LBH). Dua bagian
pertama dari subbab ini ("Asal Mula Gagasa" dan "Justifikasi
Pengetahuan") akan menjelaskan pengertian yang membuat kita bisa
menganggap bahwa Locke dan Hume dapat diklasifikasikan sebagai tokoh empiris berdasarkan
sejauh mana gagasan mereka sesuai dengan pernyataan genetik dan epistemik. Akan
ditunjukkan bahwa dalam filosofi mereka memiliki unsur-unsur yang dikenal dalam
tradisi rasionalis dan empiris dan relitivitas pemikiran mereka tidak dalam
setiap topik di sisi apa yang biasa dipahami sebagai empirisme. Hal ini yang
bisa mendukung pandangan yang lebih bernuansa dan tidak bersifat antagonistik
tentang apa yang diperjuangkan oleh kedua tradisi ini. Bagian ketiga dari subbab
ini yaitu “Kedudukan Berkeley akan memberikan ulasan singkat tentang alasan
mengapa Berkeley tidak mudah masuk dalam kategori empirisme. Sejalan dengan
tujuan Reid, kedudukan Berkeley diantara Locke dan Hume dipahami sebagai mata
rantai yang mengarah pada skeptisisme, tetapi legitimasi inklusinya menjadi
tertantang setelah orang menyadari bahwa skeptisisme adalah salah satu tujuan
utama kritik Berkeley. Oleh karena itu, sikap Berkeley pantas untuk masuk dalam
kategori tersendiri.
1.
Asal Mula Gagasan
Pemikiran John Locke sepenuhnya memenuhi
pernyataan genetik. Buku I Essay concerning Human Understanding (1690)
didedikasikan untuk menolak keberadaan ide-ide bawaan. Locke memperjelas bahwa
apa yang dia bantah adalah kemungkinan adanya isi atau prinsip tertentu yang
tertanam secara universal di benak manusia, baik yang bersifat spekulatif –
misalnya, prinsip nonkontradiksi (E 1.1.4) – maupun prinsip moral. karakter –
misalnya, “Melakukan seperti yang akan dilakukan” (E 1.2.7). Locke menyangkal
kemungkinan bahwa pikiran kita mengandung konten asli tertentu yang tertera di
atasnya, Locke kemudian menyarankan penjelasan alternatif mengenai asal usul
gagasan. Oleh karena itu, ia mendalilkan bahwa pikiran manusia seperti lembaran
kosong, kosong karakter, dalam arti kosong ide, yang memperoleh materinya dari
pengalaman (E 2.1. 2, 2.11. 17). Yang penting kemudian adalah untuk menentukan
apa yang dimaksud dengan "pengalaman."
Pemikiran Locke sering menganggap
pengalaman sebagai ide, yang dia definisikan sebagai "apapun yang menjadi
objek pemahaman ketika seseorang berpikir" (E Intro 8, lihat 2.1.1).
Namun, dia mendefinisikan pengalaman sebagai "pengamatan kita yang digunakan,
tentang objek sensitif eksternal, atau tentang operasi internal pikiran kita
yang dirasakan dan direfleksikan oleh diri kita sendiri" (E 2.1.2). Dapat
diperhatikan bahwa Locke tidak menegaskan bahwa materi pikiran, yaitu ide,
merupakan pengalaman itu sendiri, bahkan berasal dari pengalaman. Ide mengamati
peristiwa eksternal yang masuk akal dan operasi internal pikiran. Locke juga
menekankan bahwa proses menghasilkan ide adalah bertahap (E 2.1.6-8), sehingga
waktu dan seringnya kita mengamati sangat penting agar pikiran dapat mengenali,
mengklasifikasikan, dan menggunakannya dalam penalaran. Oleh karena itu, Lock
tidak membedakan secara kontras antara pengalaman dan ide-ide, namun dia menghubungkan
fitur-fitur tertentu yang memunculkan ide-ide seperti pengamatan, perluasan
temporal, dan pengenalan, yang melibatkan kemampuan untuk mengenali,
mengklasifikasikan, dan mensistematisasikan konten yang diperoleh.
Selanjutnya, ada kepercayaan bahwa Hume
didesak menjadi seperti Locke untuk melawan pengetahuan bawaan dan, oleh karena
itu, Hume mematuhi pemikiran Locke (Stroud, 1977: 23-24, Dicker, 2002: 2). Hal
ini seharusnya diekspresikan dalam prinsip salinan, yang dengannya Hume
berpendapat bahwa, setiap ide sederhana identik dengan dan didahului oleh kesan
sederhana (T 1.1.1.5). Namun, Hume tampaknya tidak menunjukkan urgensi sebanyak
Locke tentang hal itu dan, meskipun ia menyatakan bahwa doktrin ide bawaan
telah disangkal (T 1.3.14.6), Hume juga menunjukkan bahwa argumen anti-innatisme
dapat dikurangi pada pernyataan bahwa ide didahului dan disebabkan oleh kesan,
menekankan bahwa yang membedakannya adalah kekuatan yang terakhir (P 1.1.1.12).
Dalam Abstract (1740), Hume menambahkan bahwa "persepsi atau kesan
kita itu lebih kuat adalah bawaan, dan bahwa kasih sayang alami, cinta akan
kebajikan, kebencian, dan semua hasrat lainnya, muncul segera dari alam"
(ABST 6). Ini berarti bahwa perbedaan Hume antara kesan dan gagasan membawanya
untuk menyangkal karakter bawaan dari ide saja tetapi tidak harus dari kesan,
sedangkan untuk Locke tidak ada konten mental bawaan sama sekali. Hume
menegaskan kembali posisi ini dalam An Inquiry about Human Understanding
(1748) ketika ia mendefinisikan bawaan sebagai "apa yang asli atau disalin
dari persepsi sebelumnya," yang memungkinkan dia menyatakan "semua
kesan kita adalah bawaan, dan ide-ide kita tidak bawaan" (EHU 2.9n). Oleh
karena itu, Hume tidak semata-mata bisa disejajarkan dengan anti-innatisme
radikal Locke, apalagi kesan sensasi yang sederhana dapat diidentifikasi dengan
ide-ide sederhana yang diajukan oleh pendahulunya.
Maka, dapat diperhatikan bahwa pernyataan
genetik tidak dapat ditafsirkan secara sama bila diterapkan pada Locke dan
Hume. Pertama, interpretasi khusus Hume tentang innatisme, yang tidak dipahami
dari hal lain. Terlebih lagi, jika definisi ini diterapkan secara retrospektif
pada pemikiran Locke, Hume bisa saja dianggap sebagai kelompok innatisme karena
Hume menganggap sensasi dan refleksi adalah sumber ide yang orisinal (E 2.1.4).
Kedua, perbedaan lainnya antara Locke dan Hume adalah skeptisisme yang terakhir
tentang asal usul kesan indrawi, yang muncul "dalam jiwa awalnya, dari
penyebab yang tidak diketahui" (T 1.1.2.1, lihat. 2.1.1.1, EHU 12.11).
Kemungkinan untuk membangun hubungan sebab akibat antara kesan sensasi dan dugaan
sumber ekstramentalnya berada di luar jangkauan manusia, karena "kita
dapat mengamati konjungsi atau hubungan sebab dan akibat antara persepsi yang
berbeda, tetapi tidak pernah dapat mengamatinya antara persepsi dan objek"
(P 1.4.2.47, lihat EHU 12.12). Hume tidak memohon jaminan Ilahi untuk
memastikan korespondensi antara ide-ide sederhana dan kualitas objek material
eksternal yang menyebabkannya, seperti yang dilakukan Locke (E 2.30.1, 2.31.2,
2.32.14). Itulah sebabnya tingkat skeptisisme Hume tentang kemungkinan mengenal
dunia luar lebih dalam daripada Locke.
Seperti dalam kasus Locke, pengalaman
terlibat dalam pengamatan Hume, yaitu tindakan yang disengaja dimana pikiran
memusatkan perhatiannya pada fenomena yang muncul sebelum indra atau dalam
pikiran itu sendiri. Ini juga melibatkan dimensi temporal yaitu pengamatan
berulang terhadap objek yang mengarahkan kita untuk mengetahui kemungkinan
kualitas, penyebab, dan efeknya (EHU 4.6), yang pada gilirannya menyiratkan
kapasitas mental untuk mengatur objek yang diamati di kelas dan mengenalinya.
jenis hubungan di antara mereka. Kapasitas ini memungkinkan kita untuk
membentuk “kumpulan” kasus (EHU 8.7) yang tetap ada dalam pikiran dan
beroperasi sebagai landasan atau pembenaran dari keyakinan kita. Hal ini
memungkinkan kita untuk memahami dan membedakan setiap peristiwa di lingkungan
kita dan membuat kesimpulan kausal (EHU 5.4), yang menurut definisi membawa
kita melampaui apa yang ada pada persepsi indera (EHU 5.3).
Akhirnya, untuk memahami pengalaman dalam
hal sensasi saja sering membuat sejarawan menilai bahwa dalam tradisi empiris,
pikiran memainkan peran pasif, setidaknya dalam langkah pertama pengetahuan,
karena fungsinya pada awalnya akan dibatasi untuk menerima rangsangan yang
masuk akal (Taylor, 1964; Mounce. 1999: 24; Hatfield, 2014; Glenney dan Silva,
2019). Oleh karena itu, perlu juga meninjau poin untuk menawarkan pandangan
yang lebih akurat. Locke berpendapat bahwa "dalam persepsi telanjang, sebagian
besar pikiran bersifat pasif, dan apa yang dirasakan, tidak dapat menghindari
persepsi" (E 2.9.1, lihat 2.1.25, 2.22.2). Namun, kutipan ini tidak
merupakan bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa pikiran atau, lebih khusus,
persepsi, adalah pasif. Locke sendiri mengakui bahwa pengertian persepsi memiliki
beberapa arti. Dalam arti luas, persepsi setara dengan berpikir secara umum,
dipahami sebagai operasi yang dilakukan pikiran pada ide-idenya, “pikiran aktif
berada beberapa tingkat perhatian sukarela, mempertimbangkan apa pun” (E
2.9.1). Kemudian, Locke membedakan tiga jenis persepsi: persepsi gagasan dalam
pikiran, makna tanda, dan persetujuan atau ketidaksetujuan antar gagasan (E
2.21.5). Secara khusus, sehubungan dengan jenis persepsi pertama, Locke
berpendapat bahwa agar kasih sayang tubuh menjadi sebuah ide, ia harus
diperhatikan oleh pikiran, "di mana terdiri dari persepsi aktual" (E
2.9.3). Bagaimana seharusnya kepasifan batin dipahami? Pertama, adalah mungkin
untuk menganggapnya sebagai aspek persepsi yang terkait dengan keniscayaan merekam
apa yang ada di pikiran: tidak ada rangsangan yang mencapai pikiran tanpa
diperhatikan olehnya. Argumen ini, pada gilirannya, didasarkan pada
anti-innatisme Locke: tidak ada yang ada dalam pikiran yang tidak dapat
dirasakan (E 1.1.5). Kedua, juga dimungkinkan untuk menghubungkan rasa pasif
ini dengan ketidaksukaan, mengingat dalam E 2.9.1 Locke berbicara tentang
konten mental yang tidak secara sukarela dicari oleh pikiran, tetapi meledak ke
dalam kesadaran, sehingga untuk berbicara, dan hanya dapat dihadiri. Akhirnya,
kepasifan dapat dijelaskan dengan fakta bahwa pikiran tidak dapat menciptakan
atau menghancurkan ide-ide sederhana. Begitu ide-ide seperti itu ada dalam
pikiran, "pemahaman tidak dapat lagi menolak untuk memiliki, atau mengubah
ketika mereka dicetak, atau menghapusnya dan membuat yang baru dengan
sendirinya" (E 2.1.25). Ada kemungkinan bahwa Locke menggunakan kepasifan
pikiran sebagai sumber daya untuk menjamin ide-ide sederhana itu nyata,
memadai, dan benar, karena jika aktivitas mental diminimalkan ketika memahami
kualitas objek, margin kesalahan juga berkurang dan korespondensi antara ini
kualitas dan ide-ide sederhana dilindungi dari risiko kehendak bebas. Selain
itu, perlu dicatat bahwa Locke sendiri menunjukkan dalam E 2.9.1 bahwa pikiran
"sebagian besar" pasif, dan tidak sepenuhnya pasif.
Hume tidak mengacu pada kepasifan pikiran
atau sifat persepsi yang diduga pasif dalam tulisan-tulisannya. Seperti yang
telah ditunjukkan, asal mula persepsi adalah masalah yang tetap tidak terdefinisi
dan dikelilingi oleh selubung skeptisisme. Pikiran hanya dapat merasakan isinya
sendiri dan tidak pernah dapat membangun hubungan yang dapat diandalkan antara
mereka dan penyebab eksternal yang diduga. Ada satu bagian di mana Hume
menyebutkan sesuatu yang dapat dikaitkan dengan kepasifan pikiran yang
pura-pura mengenai kesan indrawi: “Ketika kedua objek hadir untuk indra bersama
dengan hubungannya, kita menyebut persepsi ini daripada penalaran; juga dalam
hal ini tidak ada latihan pikiran, atau tindakan apa pun, berbicara dengan
benar, tetapi hanya pengakuan pasif dari kesan melalui organ-organ sensasi” (T
1.3.2.2). Sepintas, adalah mungkin untuk memahami bahwa Hume secara terbuka
menyatakan bahwa persepsi sensitif tidak melibatkan aktivitas mental apa pun,
selain penerimaan belaka dari apa yang disajikan kepada indra. Namun, seperti
dalam kasus Locke, Hume menawarkan definisi persepsi yang luas dan eksplisit,
yang secara terbuka diasosiasikan dengan tindakan: “pikiran tidak pernah dapat
mengerahkan dirinya dalam tindakan apa pun, yang mungkin tidak kita pahami di
bawah istilah persepsi dan akibatnya bahwa istilah ini tidak kurang berlaku
untuk penilaian itu, yang dengannya kita membedakan kebaikan dan kejahatan
moral, daripada setiap operasi pikiran lainnya” (T 3.1.1.2, v. T 1.2.6.7).
Selain itu, dalam tindakan yang dianggap Hume sebagai persepsi dalam T 3.1.1.2,
ia mencantumkan sensasi seperti melihat dan mendengarkan. Singkatnya, bukti
tekstual membawa kita untuk menyimpulkan bahwa Locke dan Hume secara dominan
memahami persepsi dalam arti aktif daripada pasif (lihat Yolton 1963, 54–55,
65–67; Mackie 1976, 210; Losonsky 2001, 72–75; Biro 2009, 48).
2.
Justifikasi Pengetahuan
Ketika membahas masalah justifikasi
pengetahuan, kita harus mengingat bahwa Locke tidak menggunakan perbedaan a priori
dan a posteriori. Hume umumnya menentang penalaran abstrak atau a priori
terhadap kesimpulan berdasarkan pengalaman (EHU 4.6-10, 4.18, 7.15n13) dan
tidak menggunakan istilah a posteriori dalam teori pengetahuannya. Kedua
tokoh ini menganggap pengetahuan sebagai hasil dari proses mental di mana bahan
mentah yang dipasok melalui pengalaman sama relevannya dengan operasi yang
diberikan pikiran pada mereka. Oleh karena itu, pengalaman adalah kondisi yang
diperlukan tetapi tidak cukup untuk menguraikan pengetahuan. Ini memainkan
peran penting dalam produksi ide-ide, dan dari bahan-bahan ini, akal
menghasilkan pengetahuan dari berbagai jenis, beberapa di antaranya dapat
dibenarkan tanpa bantuan pengalaman sama sekali.
Locke mendefinisikan pengetahuan sebagai
persepsi tentang hubungan kesepakatan atau ketidaksepakatan antara ide-ide (E
4.2.1). Dalam persepsi, Locke membedakan berbagai tingkat kejelasan: intuisi,
demonstrasi, dan sensasi. Intuisi mencapai tingkat kejelasan
tertinggi karena menyiratkan pemahaman langsung tentang hubungan antara
ide-ide; maka intuisi adalah pengetahuan paling pasti yang dapat dicapai oleh
pikiran manusia (E 4.2.1). Pengetahuan demonstratif mengikuti dengan jelas,
karena dalam hal ini pikiran tidak langsung merasakan persetujuan atau
ketidaksepakatan antara ide-ide, tetapi melalui ide-ide lain (E 4.2.2-7). Locke
mencatat bahwa biasanya matematika dianggap sebagai satu-satunya bidang yang
tunduk pada pengetahuan intuitif atau demonstratif. Namun, Locke percaya bahwa
intuisi dan demonstrasi bukanlah hak istimewa eksklusif dari jumlah, ekstensi,
dan angka, tetapi "mungkin diperlukan metode dan aplikasi yang tepat dalam
diri kita, dan bukan bukti yang cukup dalam hal-hal, demonstrasi itu telah
dipikirkan. memiliki begitu sedikit untuk dilakukan di bagian lain dari
pengetahuan” (E 4.2.9). Pikiran secara potensial dapat merasakan persetujuan
atau ketidaksepakatan antara ide-ide segera atau dimediasi oleh ide-ide lain
dalam bidang pengetahuan apa pun. Misalnya, Locke menganggap bahwa ide-ide
moral mampu menunjukkan sebanyak aksioma Euclid (E 4.3.18). Apa yang pada
akhirnya mencegah kita mencapai pengetahuan intuitif dan demonstratif di semua
bidang adalah keterbatasan kognitif kita daripada sifat objek yang akan
diketahui.
Menurut Locke, pengetahuan terdiri dari
aktivitas intramental, terlepas dari keberadaan nyata dari isi ide – oleh
karena itu pengetahuan dapat diklaim sebagai a priori. Pernyataan matematikawan
tentang kuadratur lingkaran tidak tergantung pada keberadaan lingkaran mana pun
di dunia, seperti halnya wacana dan definisi moral yang tidak tergantung pada
kehidupan manusia; jadi di kedua bidang itu dimungkinkan untuk mencapai
kepastian tanpa bantuan pengalaman, karena pengetahuan yang dibangun seluruhnya
dari model mental atau esensi nyata yang dapat kita akses penuh (E 4.4.8). Lalu
apa yang dimaksud dengan sensasi? Sensasi tidak didefinisikan sebagai persepsi
tentang jenis hubungan tertentu antara ide-ide tetapi sebagai persepsi tentang
hubungan antara ide-ide dan keberadaan eksternal tertentu (E 4.1.7). Meskipun
demikian, Locke mengklasifikasikannya sebagai pengetahuan dan bukan sebagai
opini (E 4.2.14, 4.11.3). Apa yang menyebabkan Locke berpikiran itu? Dalam
filosofinya, tidak ada tempat untuk argumen skeptis yang mungkin mempertanyakan
apakah gagasan yang kita miliki berasal dari objek nyata, mimpi, atau hasil
fantasi kita (E 4.2.14). Oleh karena itu, persepsi yang kita miliki bahwa
ide-ide tertentu datang dari objek eksternal tertentu dapat mencapai tingkat
kepastian yang cukup untuk membentuk kasus pengetahuan, dan kita dapat yakin
bahwa indra tidak salah dalam memberikan informasi kepada kita mengenai hal-hal
di luar pikiran kita (E 4.11.2).
Pengetahuan intuitif dan demonstratif,
terlepas dari keberadaan objek yang diwakili oleh ide, bersifat universal. Di
sisi lain, pengetahuan tentang keberadaan apa yang diwakili oleh ide-ide adalah
tentang hal-hal khusus dan terkait dengan keberadaan aktual objek yang
mempengaruhi indera pada saat ini atau yang diingat dengan jelas (E 4.3.21, 4.11.9,
4.11.11 4.1.1.13). Jenis pengetahuan yang terakhir ini dapat dianggap dapat
dibenarkan secara a posteriori, karena tidak ada cara untuk memverifikasi
keberadaan objek-objek dan makhluk-makhluk tertentu kecuali melalui afeksi yang
dihasilkan kualitasnya dalam organ-organ sensasi.
Hume membuat perbedaan antara dua bidang
pengetahuan: hubungan ide, dan masalah fakta dan keberadaan (EHU 4.1).
Bidang-bidang ini mirip dengan perbedaan Locke antara intuisi dan demonstrasi
di satu sisi, dan sensasi di sisi lain. Arti intuisi dan demonstrasi dalam Hume
sangat mirip dengan yang disampaikan Locke (T 1.3.1.2, T 1.3.7.3), tetapi Hume
membatasi pengetahuan intuitif dan demonstratif pada ruang lingkup hubungan
ide, sementara Locke berpendapat bahwa ada hal-hal keberadaan yang dapat
diketahui secara intuitif, seperti keberadaan kita sendiri, atau secara
demonstratif, sebagai keberadaan Tuhan (E 4.9.1). Hume membatasi hubungan ide
dengan matematika. Mengenai hal-hal fakta, ia berpendapat bahwa dalam bidang
ini pengetahuan tidak terbatas hanya pada apa yang ada di indera atau diingat
dengan jelas, tetapi juga dan secara mendasar pada peristiwa dan objek yang
tidak ada di depan indera juga tidak dapat ditemukan dalam catatan memori. .
Cara kita mengetahui tentang peristiwa dan objek semacam ini adalah kesimpulan
kausal (EHU 4.3-4), meskipun kesimpulan semacam itu tidak mencapai tingkat
kepastian pengetahuan intuitif dan demonstratif tetapi hanya dianggap sebagai
opini.
Terlepas dari bidang-bidang di mana
kepastian dapat dicapai, kedua filsuf mengakui ada kesempatan lain di mana
pikiran tidak dapat mengenali tanpa keraguan hubungan antara dua ide atau
objek, tetapi hanya dapat menyatakannya dengan tingkat probabilitas yang lebih
besar atau lebih kecil, dari apa yang sering diamati terjadi dalam banyak kasus
(E 4.15.1, 4.16.6-9, 4.17.17; T 1.3.6.7). Keduanya setuju bahwa kemungkinan
pengetahuan adalah a posteriori, yaitu, dicapai sepenuhnya melalui sensasi dan
pengalaman, dan mereka lebih suka menyebutnya pendapat atau keyakinan daripada
pengetahuan (E 4.15.3; T 1.3.7.3- 5), meskipun mereka memiliki perbedaan
konsepsi kepercayaan. Misalnya, Locke menunjukkan kemungkinan menentukan
koeksistensi kualitas yang membentuk zat tertentu hanya mencapai tingkat
probabilitas, karena kita tidak pernah dapat sepenuhnya menjelaskan semuanya,
juga tidak ada koneksi yang diperlukan atau inkonsistensi antara sebagian besar
dari mereka. kualitas-kualitas ini yang dapat ditemukan secara apriori (E
4.12.9-10). Dalam hal ini, yang dapat kita pelajari hanyalah melalui percobaan,
pengamatan, dan sejarah alam (E 4.12.12). Ini adalah jenis pengetahuan yang
selalu mampu ditinjau, diperbaiki, dan diperluas; itu belum selesai secara
alami. Hume menganggap semua kesimpulan kausal tentang hal-hal fakta hanya
dapat mencapai tingkat probabilitas karena jenis pengetahuan ini, tidak seperti
yang sangat sensitif tentang keberadaan objek tertentu yang disebutkan oleh
Locke, menyiratkan kesimpulan yang menghubungkan kesaksian indra atau indera
saat ini. memori dengan sesuatu yang tidak ada dan tidak segera dirasakan (T
1.3.2.3 SB 74), yang didukung oleh pengalaman sebelumnya dari konjungsi
konstannya (EHU 4.6). Meskipun ada konjungsi yang memiliki tingkat keseragaman
yang tinggi, pada kenyataannya selalu ada kemungkinan terjadi hal yang
berlawanan, yang melemahkan keteguhan konjungsi tersebut (E 4.2). Salah satu
kontribusi besar Hume untuk sejarah filsafat adalah untuk meninjau sifat
pengetahuan inferensial tentang pertanyaan tentang fakta dan keberadaan - topik
yang tidak dibahas Locke -, yang membawanya ke analisis dan kritiknya yang
terkenal tentang gagasan kausalitas, dan rumusan masalah induksi.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa Locke
percaya ada inti kebenaran yang tidak tergantung pada pengalaman, di mana
matematika dan proposisi moral dapat dihitung. Selain itu, ia menganggap
keberadaan nyata dari objek material tertentu sebagai semacam pengetahuan,
meskipun itu mencapai a posteriori. Dalam kasus Hume, pengetahuan secara ketat
diidentifikasikan dengan kebenaran yang didasarkan pada intuisi dan
demonstrasi, yang menurut definisi tidak tergantung pada pengalaman, di mana
hanya matematika yang dihitung; sedangkan segala sesuatu yang termasuk dalam
masalah fakta diketahui secara empiris dan hanya mencapai tingkat probabilitas.
3.
Kedudukan Berkeley
Dari semua filsuf yang secara tradisional
dianggap sebagai empiris Inggris, George Berkeley tidak diragukan lagi adalah
orang yang paling tidak cocok dengan mudah ke dalam kategori ini (ada
kontroversi mengenai hal ini, lihat Bracken 1974; Loeb 1981; Ayers 2005).
Meskipun dia berbagi beberapa poin dengan Locke dan Hume mengenai masalah
epistemik, perhatian metafisik dan epistemiknya sangat berlawanan dengan
mereka.
Di satu sisi, Berkeley tentu
mempertahankan pernyataan genetik dan epistemik. Meskipun dalam sebuah bagian
dari Komentar Filosofis atau Buku Catatan anumerta dia tampaknya mendukung
bawaan ("Ada Ide bawaan yaitu, Ide yang dibuat bersama kita" Berkeley
1948–57, I 645, 79), pendiriannya yang paling konsisten dipertahankan secara
terbuka anti- innatis. Indra dituntut untuk memiliki gagasan karena "jika
bukan karena mereka, pikiran tidak dapat memiliki pengetahuan, tidak ada
pemikiran sama sekali" (Berkeley 1948–1957, I: 539, 67; lih. ib. 318, 39;
II: 1, 41). Adapun pembenaran pengetahuan, Berkeley menyatakan bahwa kognisi
dapat dicapai baik dengan penalaran intuitif atau demonstratif, mengakui
perbedaan ini dengan cara yang mirip dengan Locke, tetapi menolak konotasi
skeptisnya (Berkeley 1948–57, II: 230; Ayers 2005). Pandangan-pandangan ini
ternyata membuatnya dekat dengan Locke, yang filosofinya dibacakan Berkeley
dengan seksama. Namun, di sisi lain, Berkeley menilai bahwa filosofi Locke
mengandung konsekuensi yang berisiko, karena mau tidak mau cenderung
skeptisisme/skeptisisme dan ateisme. Pendirian yang tidak dapat diterima itu
dihasilkan dari titik awal metafisik yang salah: asumsi bahwa substansi
material itu ada. Jadi, meskipun dia berbagi beberapa tesis empiris epistemik
dengan Locke, tidak dapat dikatakan bahwa dia adalah bagian dari "klub
filosofis" yang sama dengannya. Sebaliknya, tujuan filosofis utama
Berkeley justru untuk melawan konsekuensi skeptis dan ateis dari tesis Lockean.
Selain itu, Berkeley memikirkan perbedaan
antara pikiran dan tubuh material dalam istilah Cartesian. Dengan mengasumsikan
bahwa celah memisahkan pikiran dari tubuh, ia berpendapat bahwa ide-ide dari
pikiran tidak dapat menyerupai tubuh material yang seharusnya mereka wakili. Mengingat
fakta bahwa sebuah ide tidak dapat menyerupai tetapi sebuah ide, Berkeley
berpikir bahwa untuk mengamankan kemungkinan pengetahuan tertentu, ontologi
harus dibatasi pada pikiran dan ide yang dirasakan oleh pikiran. Dengan
demikian, filsafat Berkeley, di satu sisi, menggantikan metafisika yang
menegaskan keberadaan materi dengan idealisme yang menurutnya hanya ada ide dan
pikiran. Di sisi lain, Berkeley menolak realisme representasional atau tidak
langsung dan mempertahankan, sebaliknya, pendekatan fenomenalis: apa yang kita
ketahui adalah ide, yaitu fenomena yang terjadi dalam pikiran.
Eksistensi permanen dunia objektif hanya
dapat dijamin jika pikiran ilahi yang tak terbatas didalilkan. Karena alasan
itu, berbeda dengan filosofi Locke dan Hume, Tuhan memainkan peran sentral
dalam idealisme Berkeley. Tuhan adalah pikiran di mana semua ide yang membentuk
dunia objektif dan intersubjektif hadir. Jika tidak, ide-ide akan musnah setiap
kali pikiran yang terbatas berhenti memikirkannya. Langit, rumah-rumah, dan
pikiran-pikiran lain akan muncul sebentar-sebentar sebagai item mental dari
pikiran manusia. Selain itu, Tuhan memerintahkan ide-ide objektif dengan cara
yang harmonis dan koheren. Kami menyebut "hukum alam" ide-ide yang
kami anggap secara teratur - tetapi tidak harus - terhubung. Suksesi ide-ide
ini dapat diubah jika kehendak Tuhan memutuskan untuk melakukannya. Dalam
pendekatan ini, kita tidak hanya dapat melihat jejak apa yang akan menjadi
bagian dari analisis Hume tentang gagasan kausalitas, tetapi juga kedekatan
pemikiran Berkeley dengan Malebranche.
Singkatnya, kepatuhan Berkeley terhadap
pernyataan genetik dan epistemik menghubungkannya ke tingkat tertentu dengan
Locke dan Hume. Tapi tak satu pun dari pernyataan ini menjadi pusat perhatian
Berkeley: mereka memainkan peran sekunder dalam proposalnya. Komitmennya yang
kuat untuk membela keberadaan Tuhan dan mengkritik skeptisisme dan ateisme
adalah tanda yang menghubungkannya dengan Malebranche dan Cartesianisme. Itulah
sebabnya Berkeley tidak dapat dianggap hanya sebagai seorang empiris atau
rasionalis. Pemikirannya tidak cocok dengan salah satu dari label ini. Ini
adalah salah satu dari banyak contoh yang menunjukkan bahwa filsafat dan sains
modern awal tidak boleh direduksi menjadi dua tren yang saling bertentangan dan
saling eksklusif.
F.
Empirisme, Skeptisisme, dan Materialisme
Sebuah derivasi
penting dari akun tradisional adalah asosiasi empirisme dengan dua tren
filosofis dan ilmiah utama: skeptisisme dan materialisme. Hubungan empirisme
dengan skeptisisme pertama kali didirikan oleh Reid pada abad kedelapan belas.
Dia tidak hanya membangun garis keturunan Locke-Berkeley-Hume, tetapi juga
menggabungkannya dengan Descartes dan Malebranche - yang bagi banyak sejarawan
berada di pihak rasionalis - dalam apa yang dia sebut sebagai "sistem
ideal" atau "sistem Cartesian". .” Ini berarti bahwa urutan
lengkap, seperti yang muncul dalam Reid's An Inquiry into the Human Mind
(1764), tidak mengacu pada asal usul pengetahuan atau metode pembenarannya.
Reid berpendapat bahwa para penulis ini memiliki kesamaan pembelaan mereka
terhadap teori pengetahuan representasionis yang dia rangkum dalam moto:
"tidak ada yang dirasakan kecuali apa yang ada dalam pikiran yang
merasakannya" (Reid 2010, 4). Dan kekhawatiran Reid tentang
representasionisme adalah bahwa hal itu pasti mengarah pada skeptisisme
universal. Kaitan empirisme dengan skeptisisme diperkuat, dari perspektif yang
sangat berbeda, oleh narasi Kant dan pasca-Kantian dan masih tetap ada di
sebagian besar catatan periode modern awal. Faktanya, seperti yang telah kita
lihat, banyak, tetapi tidak semua, perwakilan empirisme yang paling terkenal
mengambil sikap skeptis.
Asosiasi empirisme
dengan materialisme terjadi terutama selama abad kedelapan belas Prancis dan
secara langsung terkait dengan penerimaan filsafat Locke di Prancis. Penerimaan
signifikan pertama dibentuk oleh "sensualisme" tienne Bonnott de
Condillac (1714-1780) yang mengolah kembali teori gagasan Locke. Meskipun
Condillac bukan seorang materialis, entah bagaimana karyanya berperan sebagai
stimulus untuk mengeksplorasi konsekuensi dari hipotesis "materi
berpikir" Locke. Sejak saat itu, beberapa filsuf Pencerahan menjelaskan
proses persepsi dan kognisi dalam istilah fisiologis, dengan menyatakan bahwa
pikiran sama materialnya dengan tubuh (Julien Offray de La Mettrie (1709-1751),
Denis Diderot (1713-1784), Claude- Adrien Helvétius (1715-1771), Paul Henri
Thiry d'Holbach (1723-1789), dll.). Ontologi materialistik ini, yang berangkat
dari teori pengetahuan empiris, membawa konsekuensi moral dan politik yang
penting dan dalam beberapa kasus melekat pada pendirian ateis (Yolton 1983;
Wolfe 2018).
G.
Referensi
Manzo,
S., & Calvente, S. (2020). Early modern empiricism.
Komentar
Posting Komentar
Silakan berdiskusi pada kolom komentar yang telah disediakan. Terima kasih.