Tema 2. Peran Kerangka Epistemologis dalam Pembelajaran Fisika Kontekstual

Tema 2 : Penerapan Filsafat dalam Implementasi Pembelajaran di Sekolah dan Pengembangan Evaluasi Pendidikan

“Peran Kerangka Epistemologis dalam Pembelajaran Fisika Kontekstual”

 

Purwoko Haryadi Santoso

Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

NIM. 21701261044

 

Pendahuluan

Melalui kerangka epistemologis, pembelajaran fisika bertujuan untuk mengubah cara berpikir siswa tentang pengetahuan dan pendekatan pembelajaran fisika (Brewe et al., 2009; Elby, 1999, 2001; Goldberg et al., 2010; Hammer & Elby, 2003; Redish & Hammer, 2009). Siswa terkadang mengikuti pembelajaran fisika dengan membawa pengetahuan fisika yang kurang produktif (Hammer, 1994). Masih sering ditemukan bahwa siswa menganggap fisika sebagai pengetahuan yang abstrak, terlalu matematis, dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari (Bing & Redish, 2012; Hammer, 1994; Tuminaro & Redish, 2007). Menanggapi kenyataan seperti ini, strategi pembelajaran tradisional seperti menghafal sekilas tepat karena siswa tidak peduli dengan jawaban mereka yang tidak masuk akal (bagi mereka) (Redish et al., 1998). Kerangka epistemologis berperan agar siswa dapat melihat fisika sebagai pengetahuan yang terhubung dan masuk akal sehingga belajar fisika merupakan proses aktif membangun koneksi di antara pengetahuan tersebut. Persamaan harus dapat diterjemahkan secara intuitif dan ketidaksesuaian antara prinsip dan kenyataan seharusnya bisa disadari.

Kerangka filsafat epistemologis dalam diri akan menentukan pandangan siswa terhadap ilmu fisika yang dipelajarinya. Secara umum, setiap siswa memiliki konteks dan pengalamannya masing-masing. Apalagi jika pendidikan fisika dilaksanakan di lingkungan dimana siswa di dalam kelas yang tidak berencana harus menguasai bidang fisika dalam kehidupannya di masa depan. Tantangan ini mengisyarakatkan bahwa pembelajaran fisika yang kontekstual harus dilibatkan agar fisika tidak menjadi ekslusif dalam konteks pengalaman siswa. Konten pembelajaran bisa disesuaikan agar menemui kecocokan dengan bagaimana siswa memandang fisika secara epistemologis. Pada tulisan kali ini, penulis akan mendiskusikannya dalam beberapa bagian. Bagian selanjutnya membahas tentang bagaimana mendekati pembelajaran fisika yang bersifat kontekstual kemudian dilanjutkan tentang bagaimana peran filsafat epistemologis dalam pembelajaran fisika.

Pembelajaran Fisika Kontekstual

Pembelajaran kontekstual merupakan salah satu metode yang menggunakan konsep dan keterampilan proses dalam memahami konteks masalah nyata yang relevan dengan pengalaman siswa yang beraneka ragam (Glynn & Koballa, 2002). Siswa mempelajari fisika dengan mengaitkan fisika dengan konteks masalah nyata agar mereka mampu menghubungkan konsep fisika dan penerapannya dalam kehidupan siswa. Pendekatan pembelajaran fisika kontekstual diciptakan untuk memperbaiki kesan terhadap ilmu fisika yang ekslusif, impersonal, dan tidak relevan dengan kegiatan sehari-hari (Lye et al., 2002). Sebelum mempelajari fisika, seringkali siswa berpikir dan bertanya “mengapa saya harus belajar fisika?” atau “apakah saya membutuhkannya?”

Jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional, pembelajaran kontekstual diharapkan mampu lebih efektif dalam meningkatkan motivasi, pemecahan masalah, dan hasil belajar siswa (Glynn & Koballa, 2002; Rayner, 2004). Kontekstualisasi materi fisika dapat menghindari kesan fisika yang abstrak dan tidak relevan dengan kegiatan sehari-hari tetapi seharusnya menjadikan pembelajaran yang mendukung motivasi siswa (Whitelegg & Edwards, 2005; Wilkinson, 1999). Selain itu, pendekatan kontekstual juga diharapkan mampu menjauhkan persepsi bahwa fisika hanyalah pengetahuan menghafal atau menghitung saja namun ilmu yang membutuhkan proses pemecahan masalah (Whitelegg & Edwards, 2005). Dengan demikian, pembelajaran fisika kontekstual diharapkan mampu menghasilkan hasil belajar yang lebih baik jika dibandingkan dengan pembelajaran tradisional karena mampu meningkatkan motivasi dengan strategi yang lebih baik (Wilkinson, 1999).

Salah satu contoh yang bisa dipelajari untuk membedakan antara pembelajaran fisika kontekstual dengan tradisional adalah yang diilustrasikan oleh Benckert (1998) (Gambar 1).

Gambar 1. Soal fisika tradisional dan kontekstual

Soal pada Gambar 1 adalah bentuk yang biasa digunakan dalam pembelajaran fisika kontekstual. Kita bisa melihat bahwa soal fisika kontekstual menggunakan konteks kehidupan nyata sehingga siswa harus lebih banyak membaca, berpikir, analisis, dan cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan soal fisika tradisional.

Terdapat beberapa hasil penelitian tentang pembelajaran fisika kontekstual yang menguji motivasi siswa, pemecahan masalah, atau prestasi belajar ketika membandingkan penilaian pembelajaran kontekstual dan penilaian tradisional. Rennie & Parker (1996) menyelidiki pengaruh mengintegrasikan konteks dalam pembelajaran fisika dengan menguji prestasi belajar fisika pada delapan siswa yang berasal dari lima sekolah menengah atas. Ukuran sampel yang kecil membuat studi ini tidak menggunakan analisis statistik. Dilaporkan bahwa siswa memperoleh skor yang lebih tinggi pada soal fisika kontekstual dibandingkan dengan soal buku teks tradisional. Wawancara siswa menunjukkan bahwa soal fisika kontekstual membuat siswa lebih tertarik dibandingkan dengan soal fisika tradisional.

Park & Lee (2004) menggunakan ukuran sampel yang lebih besar yaitu 93 siswa sekolah menengah atas yang mengikuti pembelajaran fisika tradisional. Park & Lee mewawancarai siswa untuk mengerjakan empat soal fisika kontekstual dan soal fisika tradisional. Studi menemukan bahwa tidak ada perbedaan kinerja siswa antara soal fisika kontekstual dan tradisional dalam dua soal. Satu soal lainnya menunjukkan kinerja yang lebih tinggi pada soal kontekstual dan soal yang terakhir menunjukkan kinerja lebih baik pada soal tradisional. Soal fisika kontekstual dibuat dalam konteks “keamanan dalam kehidupan sehari-hari”, yang bisa membuat tidak adanya perbedaan hasil antara kedua soal karena konteksnya kurang menarik dan sulit untuk dipahami.

Heller & Hollabaugh (1992) mengamati 400 siswa dari dua pembelajaran fisika tingkat universitas yang diberikan aktivitas mengerjakan soal fisika kontekstual atau soal fisika tradisional secara berkelompok. Heller & Hollabaugh juga menganalisis diskusi siswa, kuesioner respon siswa, dan hasil tulisan pekerjaan siswa. Hasil studi menemukan bahwa diskusi siswa saat mengerjakan soal fisika tradisional terpusat pada “rumus” apa yang harus digunakan untuk menyelesaikan soal. Diskusi siswa dalam mengerjakan soal fisika kontekstual mendorong siswa untuk memilih “prinsip dan hikum” apa yang harus diterapkan dalam soal yang sedang dikerjakan. Hasil ini selaras dengan yang ditemukan Larkin et al. (1980) menunjukkan bahwa soal fisika tradisional membuat siswa untuk fokus dalam memilih dan mengolah persamaan bukan memahami konsep yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal. Menariknya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun siswa diajarkan dengan metode tradisional, soal fisika kontekstual mendukung proses pemecahan masalah yang lebih efektif. Akan tetapi, prestasi belajar tidak dinilai dalam penelitian ini sehingga kita tidak mengetahui apakah penilaian kontekstual menghasilkan prestasi lebih tinggi atau tidak dibandingkan dengan penilaian pembelajaran tradisional.

Enghag (2005) menguji diskusi dua kelompok kecil dari tiga siswa sekolah menengah atas yang mengerjakan soal fisika kontekstual. Enghag mengukur motivasi siswa berdasarkan waktu yang dihabiskan untuk diskusi. Hasil studi melaporkan bahwa dengan soal fisika kontekstual membuat lebih dari 60% diskusi siswa fokus pada fisika. Namun desain penelitian Enghag memiliki sejumlah hal yang masih bisa diperdebatkan. Tidak terdapat perbandingan kelompok yang mengerjakan soal fisika tradisional sehingga kita tidak bisa menyimpulkan bahwa soal fisika kontekstual mampu menghasilkan motivasi yang lebih tinggi atau tidak. Enghag juga tidak menilai prestasi belajar sehingga kita tidak dapat menyimpulkan sebih jauh seperti studi yang dibahas pada paragraf sebelumnya.

Dengan demikian, masih sedikit data yang mampu digunakan untuk menyatakan bahwa penilaian fisika kontekstual mampu meningkatkan prestasi belajar. Hanya satu dari dua studi yang menguji prestasi belajar yaitu Park & Lee (2004) dengan ukuran sampel yang relatif besar untuk melaksanakan analisis statistik namun hasilnya masih tidak konsisten. Penelitian Heller & Hollabaugh (1992) memberikan petunjuk bahwa terdapat kemungkinan prestasi belajar setelah proses pemecahan yang lebih baik, tetapi prestasi belajar harus secara langsung dinilai. Namun, sedikitnya referensi yang tersedia berarti bahwa masih sedikit bukti yang mampu menjelaskan bahwa penilaian fisika kontekstual mampu meningkatkan prestasi belajar. Riset selanjutnya perlu dilakukan untuk mengalamatkan celah masalah ini sebelum rekomendasi dibuat untuk pendidik tentang kebermanfaatan penilaian fisika kontekstual.

Kerangka Epistemologis dalam Konteks Pembelajaran

Fenomena yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana siswa mendekati fisika dalam proses pembelajarannya. Secara umum, terdapat banyak faktor yang mampu mempengaruhi bagaimana siswa belajar namun, dalam tulisan ini, penulis akan menekankan hakikat ilmu pengetahuan melalui kerangka epistemologis (Bing & Redish, 2009; Hammer et al., 2011; Lising & Elby, 2005). Kerangka adalah interpretasi dan penyesuaian diri seseorang terhadap situasi disekitarnya (Adams & Goffman, 1979; Wildner-Bassett & Tannen, 1995). Kerangka dipengaruhi oleh pengetahuan bawaan dan pengalaman seseorang serta keadaan fisik dan sosial tempat orang tersebut berinteraksi. Kerangka epistemologis adalah bagian dari kerangka yang melibatkan proses interpretasi terhadap ilmu dan kegiatan yang bernilai atau tepat (Bing & Redish, 2009, 2012; Hammer et al., 2011). Sebagai contoh, ketika siswa belajar dalam suatu ruang kelas siswa bisa berpikir bahwa kegiatan pembelajaran seharusnya menerima ilmu dari guru yang ada di depan.

Komponen penting lainnya yang menentukan kerangka seseorang adalah konteks fisik dan sosial yang mempengaruhi sumber apa dan seberapa lama akan diaktivasi (Elby et al., 2016; Gupta & Elby, 2011). Ketika guru memulai ceramah dan siswa langsung mencatat, kerangka aktivitas ini akan secara otomatis mengaktivasi asumsi transfer pengetahuan. Namun, guru bisa melibatkan soal open-ended untuk memicu kegiatan diskusi antar siswa. Pengaruh jenis perlakuan seperti ini akan berinteraksi dengan pengalaman terdahulu siswa. Untuk beberapa siswa, inovasi yang diberikan guru akan mengaktivasi sumber epistemologis yang berbeda misalnya ide tentang konstruksi pengetahuan dan evaluasi kemampuan diri dalam mengikuti aktivitas ini. Akan tetapi, siswa lainnya mungkin bisa menganggap, berdasarkan pengalamannya, bahwa guru akhirnya nanti akan menjelaskan jawabannya. Siswa seperti ini tidak terlibat secara ikhlas dalam pembelajaran dan masih menganggap bahwa pembelajaran adalah transfer pengetahuan guru kepada siswa. Hal ini tidak berarti bahwa siswa seperti ini tidak memiliki sumber lain dalam pembelajaran namun mereka membutuhkan dukungan dalam menyusun kerangka dalam dirinya. Ilustrasi ini dapat menggambarkan bagaimana interaksi individu dan konteks mampu mempengaruhi kerangka epistemologis. Dinamika ini menjadi lebih rumit (sophisticated) ketika memastikan kompleksitas epistemologis seseorang. Sebagai contoh, kita bisa berpikir bahwa transfer pengetahuan sebagai langkah yang tidak canggih (advanced/ sophisticated) dalam membuat kerangka pembelajaran. Namun hal ini tidak tepat bagi siswa yang telah lama mengalami pembelajaran bahwa kerangka ini adalah yang paling tepat (Elby, 1999). Oleh karena itu, kita perlu memahami bagaimana model kerangka epistemologis untuk menjelaskan perkembangan kerangka epistemologis dalam suatu konteks.

Elby & Hammer (2001) berpendapat bahwa sumber kerangka epistemologis tidak bisa dikatakan lebih atau kurang canggih tanpa memperhatikan konteks. Sebagai contoh, gagasan tentang “ilmu bersifat tentatif” adalah konsep yang diyakini oleh seorang expert pada ilmu tertentu. Elby & Hammer (2001) berpendapat bahwa gagasan ini tergantung kepada kapan dan bagaimana konsep ini diterapkan. Akan secara tepat bagi siswa yang menganggap pengetahuan yang tentatif, namun konsep ini akan menahan perkembangan epistemologis siswa yang menolak sifat tentatif ini. Kecanggihan kerangka epistemologis dapat dibentuk melalui sumber yang bersifat “produktif” dalam suatu konteks (Elby & Hammer, 2001).

Dalam konteks pembelajaran fisika, Hammer, Elby, dan penulis lainnya berpendapat bahwa kerangka ilmu fisika sebagai penghafalan kumpulan persamaan fisika tidak akan menghasilkan interaksi (engagement) yang produktif dalam pembelajaran fisika. Kerangka yang mendorong koherensi, memaknai simbol, dan menyesuaikannya dengan pengalaman sehari-hari dianggap lebih canggih karena mampu mendukung interaksi yang produktif dalam pembelajaran fisika (Bing & Redish, 2009, 2012; Elby, 2001; Elby & Hammer, 2001; Hammer, 1994; Redish & Hammer, 2009; Yerdelen-Damar & Elby, 2016). Jika kerangka epistemologis awalnya tidak tampak atau jarang tampak, meningkatnya frekuensi atau lamanya kerangka  muncul dapat dianggap sebagai indikasi perkembangan epistemologis seseorang (Elby et al., 2016; Hammer et al., 2011).

Hammer et al. (2011) melaporkan hasil penelitian pada seorang siswa yang bernama “Louis” (nama samaran) ditemukan telah mengalami perkembangan epistemologis selama belajar fisika. Hammer et al. (2011) tidak berpendapat bahwa Louis menemukan metode belajar baru dari kelas fisika yang diujicobakan. Hammer et al. (2011) berpendapat bahwa Louis sudah memiliki sumber kerangka pemahaman dan pembelajaran dari pengalaman masa lampaunya. Perkembangan Louis dalam sumber kerangka ini mengalami peningkatan frekuensinya. Kita bisa menganggap perkembangan yang dihasilkan karena koherensi diantara sumber-sumber yang bersifat “produktif”. Dimulai dari memahami makna persamaan dapat mengembangkan pemahaman dalam memaknai arti fisisnya dalam grafik atau lebih umumnya apakah ilmu fisika dapat bermakna dalam pengalaman fisis sehari-hari. Dengan demikian, perkembangan epistemologis dapat didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi aktivasi dan koordinasi diantara sumber-sumber yang produktif, yang pada akhirnya seharusnya menghasilkan kerangka yang lebih canggih dan stabil (Elby et al., 2016; Hammer et al., 2011).

Kemudian, kita seharusnya memahami tujuan melibatkan kerangka epistemologis adalah agar sumber non-produktif menjadi berkurang dan mendorong aktivasi sumber-sumber produktif sehingga siswa telah siap untuk menggunakan sumber ini sebagai aspek yang berguna dalam pembelajaran fisika di kelas (Hammer & Elby, 2003; Redish & Hammer, 2009). Dorongan konsisten dan eksplisit dari guru seharusnya dapat dimunculkan dalam aktivitas dan penilaiannya  yang akan menghasilkan pembelajaran fisika yang lebih sukses.

Namun perlu diperhatikan bahwa definisi perkembangan epistemologis bergantung pada pemahaman yang konsisten tentang apa yang dianggap “produktif” dalam suatu konteks. Dalam pembelajaran fisika yang inovatif, terdapat beberapa aktivitas yang bisa menjadi indikator yang jelas dari perkembangan kecanggihan epistemologis misalnya melalui kegiatan memaknai persamaan. Akan tetapi, ketika konteks berubah maka definisi kecanggihan mungkin juga akan berubah. (Yerdelen-Damar & Elby, (2016) menjelaskan bagaimana perilaku siswa dalam inovasi pembelajaran fisika namun dihadapkan pada situasi tekanan dan kompetitif. Pembelajaran menawarkan pendekatan pembelajaran fisika yang mendorong pemahaman dan koherensi konsep-konsep. Namun,  saat yang bersamaan, siswa juga harus menghadapi ujian masuk perguruan tinggi di akhir pendidikannya. Tekanan dari keadaan lingkungan akan mengaktivasi pendekatan permukaan (surface approach) dalam proses belajar. Siswa akan mengaktivasi cara-cara menghafal agar bisa mengerjakan soal secara efisien. Lalu, dalam konteks saat ini, epistemologis yang canggih itu seperti apa ?

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, strategi menghafal tidak mampu membuat siswa memahami fisika secara mendalam dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai metode belajar fisika yang tidak produktif. Di sisi lain, situasi ujian yang kompetitif, ujian yang dibatasi waktu, tidak memungkinkan mengeksplorasi pengetahuan mendalam, dan banyaknya konten pembelajaran yang harus dipersiapkan, akan mengarahkan bahwa strategi belajar fisika secara mendalam tidak layak dan tidak menjamin skor ujian menjadi lebih baik. Dengan demikian, kita dapat mempertimbangkan jika siswa mampu memilah-milih pembelajaran apa yang ingin dilaksanakan dalam konteks perkuliahan dan bagaimana strategi untuk mencapai hasil ujian yang maksimal. Hal ini merupakan dimensi metakognitif dari kerangka epistemologis yang canggih (Barzilai & Zohar, 2014). Kerangka epistemologis menjadi canggih ketika seseorang menginterpretasikan strategi belajar atau permintaan yang disebabkan oleh konteks sehingga mereka mampu mengadaptasikan keduanya.

Lalu bagaimana pengaruh kerangka epistemologis dalam pembelajaran fisika kontekstual ? Cerita Louis dalam penelitian Hammer et al. (2011) menyajikan satu hasil yang mungkin yaitu perkembangan dalam satu konteks memiliki pengaruh positif bagaimana siswa menyusun kerangka pemahaman dan pembelajaran satu sama lain.

Hammer et al. (2011) mengajukan dua jenis mekanisme yang mampu memfasilitasi hasil ini. Pertama, mekanisme pasif dan context driven; fitur di dalam konteks mengaktivasi sumber-sumber yang serupa. Sebagai contoh, guru atau pengelola pembelajaran bisa mengkomunikasikan makna mengapa kita harus berpikir secara jelas dan sederhana. Dalam konteks ini, Louis mungkin telah mendapatkan isyarat untuk menggunakan sumber sama yang pernah digunakan pada pembelajaran fisika sebelumnya. Kedua, mekanisme aktif, tak sadar, dan penerapan sumber diantara konteks-konteks. Pada situasi kedua, Louis menjadi lebih sadar bahwa sumber atau strategi yang lebih tepat dalam konteks saat ini. Hal ini tampak ketika Louis mengirimkan email kepada dosennya tentang strategi yang Louis sarankan.

Selain aktivasi aktif dan pasif, bagian penting dari mekanisme memiliki kemiripan dan hubungan antara dua konteks yang mendukung kerangka yang dapat dibagikan, yang didefinisikan sebagai intercontextuality oleh Engle (Engle, 2006; Engle et al., 2012). Jika tidak terdapat interconnection, mekanisme pasif dan aktif tidak akan terjadi. Namun, kita menganggap siswa mengaktivasi sumber-sumber yang berbeda, seperti sekolah menengah atas. Untuk studi terhadap Louis, kita bisa bayangkan kerangka self-explanation bisa diperkuat diantara kelas-kelas yang lain.

Simpulan

Sebagai ringkasan, tulisan ini telah mendiskusikan peran perkembangan kerangka epistemologis dalam pembelajaran fisika kontekstual. Pertama, kita telah memahami bagaimana perkembangan kecanggihan epistemologis melalui sumber yang produktif melalui peningkatan dan durasi kerangka produktif yang dikerjakan. Meskipun, berdasarkan rujukan hasil penelitian yang digunakan ditemukan bahwa penelitian pada pembelajaran fisika kontekstual belum cukup menjawab pertanyaan apakah pembelajaran fisika kontekstual lebih baik daripada pembelajaran tradisional ? Padahal, ini adalah pertanyaan penting yang harus dijawab sebelum meberikan rekomendasi kepada guru yang akan mengadopsi pembelajaran fisika kontekstual. Akan tetapi, secara teori, kerangka epistemologis dalam inovasi pembelajaran fisika bisa menghasilkan siswa yang tampaknya menemukan cara lain dalam mempelajari fisika. Padahal, pengetahuan lampau telah menetapkan kerangka yang akan diaktivasi setelah mengikuti pembelajaran fisika yang inovatif.

Daftar Pustaka

Adams, E. M., & Goffman, E. (1979). Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. Philosophy and Phenomenological Research, 39(4). https://doi.org/10.2307/2106908

Barzilai, S., & Zohar, A. (2014). Reconsidering Personal Epistemology as Metacognition: A Multifaceted Approach to the Analysis of Epistemic Thinking. Educational Psychologist, 49(1). https://doi.org/10.1080/00461520.2013.863265

Benckert, S. (1998). Context and Conversation in Physics Education. Most, Benckert.

Bing, T. J., & Redish, E. F. (2009). Analyzing problem solving using math in physics: Epistemological framing via warrants. Physical Review Special Topics - Physics Education Research, 5(2). https://doi.org/10.1103/physrevstper.5.020108

Bing, T. J., & Redish, E. F. (2012). Epistemic complexity and the journeyman-expert transition. Physical Review Special Topics - Physics Education Research, 8(1). https://doi.org/10.1103/PhysRevSTPER.8.010105

Brewe, E., Kramer, L., & O’Brien, G. (2009). Modeling instruction: Positive attitudinal shifts in introductory physics measured with CLASS. Physical Review Special Topics - Physics Education Research, 5(1). https://doi.org/10.1103/PhysRevSTPER.5.013102

Elby, A. (1999). Another reason that physics students learn by rote. American Journal of Physics, 67(S1). https://doi.org/10.1119/1.19081

Elby, A. (2001). Helping physics students learn how to learn. American Journal of Physics, 69(S1). https://doi.org/10.1119/1.1377283

Elby, A., & Hammer, D. (2001). On the substance of a sophisticated epistemology. Science Education, 85(5). https://doi.org/10.1002/sce.1023

Elby, A., Macrander, C., & Hammer, D. (2016). Epistemic cognition in science. In Handbook of Epistemic Cognition. https://doi.org/10.4324/9781315795225

Enghag, M. (2005). Miniprojects and Context Rich Problems. Case studies with qualitative analysis of motivation, learner ownership and competence in small group work in physics (Licentiate’s dissertation). Nordic Studies in Science Education, 1(2). https://doi.org/10.5617/nordina.498

Engle, R. A. (2006). Framing interactions to foster generative learning: A situative explanation of transfer in a community of learners classroom. Journal of the Learning Sciences, 15(4). https://doi.org/10.1207/s15327809jls1504_2

Engle, R. A., Lam, D. P., Meyer, X. S., & Nix, S. E. (2012). How Does Expansive Framing Promote Transfer? Several Proposed Explanations and a Research Agenda for Investigating Them. Educational Psychologist, 47(3). https://doi.org/10.1080/00461520.2012.695678

Glynn, S. M., & Koballa, T. R. (2002). The Contextual Teaching and Learning Instructional Approach. Exemplary Science: Best Practices in Professional Development.

Goldberg, F., Otero, V., & Robinson, S. (2010). Design principles for effective physics instruction: A case from physics and everyday thinking. American Journal of Physics, 78(12). https://doi.org/10.1119/1.3480026

Gupta, A., & Elby, A. (2011). Beyond Epistemological Deficits: Dynamic explanations of engineering students’ difficulties with mathematical sense-making. International Journal of Science Education, 33(18). https://doi.org/10.1080/09500693.2010.551551

Hammer, D. (1994). Epistemological Beliefs Introductory Physics. Cognition and Instruction, 12(2). https://doi.org/10.1207/s1532690xci1202_4

Hammer, D., & Elby, A. (2003). Tapping epistemological resources for learning physics. In Journal of the Learning Sciences (Vol. 12, Issue 1). https://doi.org/10.1207/S15327809JLS1201_3

Hammer, D., Elby, A., Scherr, R. E., & Redish, E. F. (2011). (TL) Resources, framing and transfer. Transfer of Learning from a Modern Multidisciplinary Perspective, 20(1).

Heller, P., & Hollabaugh, M. (1992). Teaching problem solving through cooperative grouping. Part 2: Designing problems and structuring groups. American Journal of Physics, 60(7). https://doi.org/10.1119/1.17118

Larkin, J. H., McDermott, J., Simon, D. P., & Simon, H. A. (1980). Models of Competence in Solving Physics Problems. Cognitive Science, 4(4). https://doi.org/10.1207/s15516709cog0404_1

Lising, L., & Elby, A. (2005). The impact of epistemology on learning: A case study from introductory physics. American Journal of Physics, 73(4). https://doi.org/10.1119/1.1848115

Lye, H., Fry, M., & Hart, C. (2002). What does it mean to teach physics “in context”?  A first case study. Australian Science Teachers Journal, 48(1).

Park, J., & Lee, L. (2004). Analysing cognitive or non-cognitive factors involved in the process of physics problem-solving in an everyday context. International Journal of Science Education, 26(13). https://doi.org/10.1080/0950069042000230767

Rayner, A. (2004). Reflections on context-based science teaching : a case study of physics for students of physiotherapy. UniServe Science Blended Learning Symposium Proceedings.

Redish, E. F., & Hammer, D. (2009). Reinventing college physics for biologists: Explicating an epistemological curriculum. American Journal of Physics, 77(7). https://doi.org/10.1119/1.3119150

Redish, E. F., Saul, J. M., & Steinberg, R. N. (1998). Student expectations in introductory physics. American Journal of Physics, 66(3). https://doi.org/10.1119/1.18847

Rennie, L. J., & Parker, L. H. (1996). Placing Physics Problems in Real-Life Context: Students’ Reactions and Performance. Australian Science Teachers Journal, 42(1).

Tuminaro, J., & Redish, E. F. (2007). Elements of a cognitive model of physics problem solving: Epistemic games. Physical Review Special Topics - Physics Education Research, 3(2). https://doi.org/10.1103/PhysRevSTPER.3.020101

Whitelegg, E., & Edwards, C. (2005). Beyond the Laboratory-learning Physics Using Real-life Contexts. In Research in Science Education - Past, Present, and Future. https://doi.org/10.1007/0-306-47639-8_48

Wildner-Bassett, M. E., & Tannen, D. (1995). Framing in Discourse. The Modern Language Journal, 79(2). https://doi.org/10.2307/329657

Wilkinson, J. W. (1999). The contextual approach to teaching physics. Australian Science Teachers’ Journal, 45.

Yerdelen-Damar, S., & Elby, A. (2016). Sophisticated epistemologies of physics versus high-stakes tests: How do elite high school students respond to competing influences about how to learn physics? Physical Review Physics Education Research, 12(1). https://doi.org/10.1103/PhysRevPhysEducRes.12.010118 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman dan Tips-Tips Lolos CPNS Dosen Kemenristekdikti

Analisis Dimensi dan Kesetaraan Besaran

Pengaruh Suasana Kelas yang Monoton dan Membosankan terhadap Proses Pembelajaran