Refleksi Kuliah 10 Filsafat PEP (Zoom) - 1 November 2021
Ditulis oleh : Purwoko Haryadi Santoso (21701261044)
Program studi : S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (Kelas C)
Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamu'alaykum warohmatullahi wabarakatuh
Pada suatu hari, Prof. Marsigit mendapat kesempatan untuk melaksanakan observasi (pengamatan) ke dalam suatu kelas sekolah dasar dimana pada waktu itu guru kelas (SD) sedang mendiskusikan topik bangun-bangun geometri.
Layaknya di Indonesia, satu guru sekolah dasar (SD) berperan sebagai guru kelas yang mengampu siswa-siswanya dalam beberapa mata pelajaran tertentu.
Pada momen ini, Prof. Marsigit melihat bahwa di dalam kelas terdapat LKS yang sudah tertumpuk rapi di atas meja.
Ternyata guru membagi kelasnya ke dalam dua kelompok besar. Satu kelas kira-kira terdiri dari 32 siswa. Dengan demikian masing-masing kelompok beranggotakan 16 siswa.
Untuk kelompok yang pertama, guru mengelompokkannya kembali ke dalam 5 meja dengan formasi 2 4 4 4 2. Guru menginstruksikan siswanya untuk mengerjakan LKS secara mandiri kepada kelompok ini.
Kemudian, kelompok yang lain diajak ke tempat lain (masih dalam satu kelas) tetapi dibatasi oleh satu sekat sedemikian rupa. Pada kelompok ini, guru meminta siswa untuk membentuk lingkaran dimana guru berada di tengah. Siswa mengerumuni gurunya.
Pertama, guru menyampaikan materi bentuk-bentuk geometri kepada kelompok siswa ini.
Kemudian, materi selesai selanjutnya guru mengambil mainan potongan-potongan kayu dengan bentuk geometri yang berbeda-beda.
Guru membuat permainan sehingga masing-masing siswa mendeskripsikan bentuk geometri.
Contohnya kira-kira seperti ini. Ketika seorang siswa memegang bentuk lingkaran maka ia bercerita, "Aku memegang benda berbentuk lingkaran. Aku sering menemui bentuk ini dalam kehidupanku. Roda, Koin, Bola, semuanya berbentuk lingkaran. Setiap lingkaran memiliki satu titik pusat di tengah-tengahnya. Jarak antara pusat dengan batas lingkaran adalah sama. Jarak ini biasanya kita sebut dengan jari-jari."
Begitu seterusnya, sehingga siswa yang lain juga diberi kesempatan untuk bercerita pada setiap masing-masing bentuk geometri yang dipegangnya.
Namun, kelompok yang melingkar belum selesai ternyata kelompok siswa yang beranggotakan anak yang lebih tinggi kemampuannya ternyata sudah selesai mengerjakan LKS nya. Dia melaporkan kepada gurunya bahwa "Aku sudah selesai mengerjakan LKS"
Lalu guru meminta kepada siswa ini untuk mengambil LKS lainnya yang terdapat di lemari untuk dikerjakan dan guru melanjutkan permainan pada kelompok siswa yang kedua.
Berdasarkan cerita ini, terdapat banyak pelajaran yang bisa kita ambil terutama bagi pembaca yang berprofesi sebagai seorang guru. Ketika datang ke sekolah, siswa tidak bisa dipandang sebagai ember kosong yang siap diisi dengan kumpulan konten pembelajaran. Ada siswa yang lebih pandai. Banyak siswa yang sedang-sedang saja. Ada juga siswa yang kurang pandai. Jika kegiatan guru sama untuk semua karakteristik siswa yang beranekaragam ini dan tes evaluasi yang digunakan juga sama dalam satu kelas maka praktik pembelajaran seperti ini tidak mencerminkan bahwa seorang guru adalah pelayan bagi siswa-siswanya. Berdasarkan contoh yang diceritakan di atas. Guru mengakomodasi kegiatan yang ditujukan untuk kelompok siswa tinggi dan kelompok siswa yang rendah. Kegiatan masing-masing kelompok berbeda-beda disesuaikan dengan kemampuan si anak itu sendiri. Guru menyediakan LKS mandiri untuk memfasilitasi siswa-siswa yang sudah menguasai materi. Di kelompok lain, guru melaksanakan games untuk memfasilitasi siswa-siswa yang belum menguasai materi dan dimungkinkan memiliki motivasi yang kurang terhadap mata pelajaran matematika. Setiap kelompok tidak dapat dipertukarkan karena mereka memiliki karakteristik masing-masing.
Jika kita melihat konteks bangsa Indonesia, realita keanekaragaman sangat sesuai dengan karakteristik bangsa kita. Ratusan juta penduduk Indonesia dapat menggambarkan bagaimana komposisi siswa-siswa yang dimiliki bangsa Indonesia. Mindset seorang guru yang memperhatikan keanekaragaman kemampuan siswa ini seharusnya perlu dibangun demi pendidikan Indonesia yang lebih humanis. Namun, kami tidak memungkiri bahwa mindset pendidikan yang sudah diterapkan bertahun-tahun lamanya tidak bisa diubah hanya dengan proses yang instan. Dibutuhkan suatu proses pemikiran, pengalaman, kerja sama dalam menyukseskan tujuan pendidikan nasional. Namun, pikiran yang terbuka akan perubahan dan tidak memandang sebelah mata terhadap gagasan yang bisa memajukan pendidikan negara ini adalah sikap yang seharusnya dimiliki oleh kita. Tak ada perubahan yang tidak direncanakan. Semua ikhtiar harus kita lakukan untuk mengubah mindset pendidikan yang menempatkan guru sebagai pelayan bagi siswa-siswanya. Untuk mendukung pernyataan ini, kami mengutip Note of The Day yang disampaikan Bapak Marsigit melalui akun Facebook pribadinya.
Semoga kita bisa menjadi seseorang yang senantiasa menyadari bahwa belajar adalah kewajiban manusia dalam hidupnya. Meskipun sudah menjadi guru, kita sebaiknya bisa senantiasa terbuka untuk menerima hal baik untuk memberikan dampak positif kepada lingkungan masyarakat dimana kita berada. Demikian yang bisa saya sampaikan dalam refleksi perkuliahan ke 10 pada tulisan kali ini. Semoga bisa menjadi tulisan yang bermanfaat bagi para pembaca.
Wabilahi taufik wal hidayah.
Wassalamu’alaykum warahmatullohi wabarokatuh.
Komentar
Posting Komentar
Silakan berdiskusi pada kolom komentar yang telah disediakan. Terima kasih.