Refleksi Kuliah 11 Filsafat (Zoom) - 8 November 2021

Bismillahirrohmanirrohim. 
Assalamu'alaykum warohmatullahi wabarakatuh 


Tema diskusi pada pertemuan kali ini adalah masih bersinggungan dengan pentingnya memunculkan inovasi dalam pembelajaran. Meskipun mata kuliah ini berjudul sebagai "Filsafat", konteks pembelajaran dan pendidikan dilibatkan Bapak Marsigit dalam mendiskusikan filsafat kali ini. Hal ini berkorelasi dengan latar belakang dan tujuan yang diharapkan setelah mengikuti kuliah ini yaitu dapat mendukung keahlian peserta mata kuliah dalam bidang "Penelitian dan Evaluasi Pendidikan". Dengan demikian, Filsafat seharusnya menjadi landasan berpikir bagi kami yang akan mengembangkan serta meneliti pokok-pokok permasalahan dalam penelitian dan evaluasi pendidikan.

Filsafat yang dipelajari dengan Bapak Marsigit akan menjadi gagasan dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran kami. Turunan dari pemikiran filosofis akan tertuang dalam ideologi yang akan kita yakini. Ideologi dalam benak seseorang akan mempengaruhi bagaimana ia berinteraksi di tengah masyarakat untuk mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan. Sebagai seorang pendidik, ideologi akan mengarahkan pendekatan pembelajaran yang dilaksanakan apakah pembelajaran yang bersifat kapitalis (industrial trainer, technological humanist, old pragmatist) atau bersifat humanis seperti kurikulum merdeka belajar yang sedang diberlakukan (progressive educator, public educator).

Sebelum guru memahami apa yang akan mereka rencanakan dalam proses pelaksanaan pembelajarannya, setiap guru wajib menyadari ideologi apa yang harus mereka yakini. Ideologi merupakan keyakinan guru yang akan menurunkan mindset dirinya dalam menanggapi bagaimana makna proses pendidikan itu sendiri. Mindset guru dalam pembelajaran merupakan hal yang paling berpengaruh dalam menggerakkan perubahan arah pendidikan suatu komunitas masyarakat. Guru merupakan ujung tombak proses pendidikan yang dikelola. Jika mindset masih berada pada pemikiran yang bersifat klasik maka hasil pendidikan masyakakat tersebut masih dalam tahap yang klasik juga.

Selanjutnya, mindset seorang guru disarankan untuk mengarahkan dirinya pada dua ideologi pendidikan humanis yang telah disebutkan sebelumnya. Mindset ini menganggap bahwa pembelajaran harus berpusat pada siswa. Melalui kesepakatan diri guru untuk memiliki pandangan seperti ini diharapkan muncul beberapa inovasi-inovasi yang bisa diciptakan oleh guru itu sendiri. Tidak lagi menggunakan metode-metode lama yang hanya mengarahkan siswa ke dalam tiga ideologi yang sudah mulai tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Inovasi perlu dilakukan untuk menggerakkan kemajuan proses pendidikan dalam peradaban.

Salah satu contoh inovasi yang didiskusikan Bapak Marsigit dalam pertemuan ini adalah Etnomatematika dalam pembelajaran atau pembelajaran yang responsif terhadap kultur/ budaya yang dimiliki dalam konteks siswa di lingkungannya masing-masing. Pembelajaran berkonteks muatan lokal berusaha untuk membawa konteks kehidupan yang paling dekat dengan kehidupan siswa yaitu budaya. Budaya merupakan kebiasaan, adat istiadat, atau tata cara yang berlaku dan disepakati dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Budaya merupakan kearifan lokal yang telah dibuat oleh nenek moyang dari komunitas masyarakat tersebut. Siswa dan guru yang merupakan anggota masyarakat sudah pasti meyakini adanya konteks budaya tersebut. Dalam konteks budaya yang ada, kita bisa belajar mengapa budaya tersebut bisa ada. Ilmu apa yang harus dipelajari sehingga nenek moyang bisa menghasilkan budaya tersebut. 

Karena bidang keahlian saya adalah Fisika, saya ingin mencoba menginterpretasikan gagasan ini dalam praktik pembelajaran fisika. Sebagian besar ilmu fisika yang dipelajari di sekolah atau buku-buku yang disediakan di dalam perpustakan dapat diakui berdasarkan ilmu-ilmu yang dikembangkan di luar kultur kebudayaan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan seperti Galileo, Newton, Schrodinger, Bohr, hingga peraih Nobel paling terakhir di bidang ilmu fisika kenyataannya bukan merupakan orang yang berasal dari asal negara tercinta kita. Merespon dari informasi ini, sebenarnya belum ada bukti yang cukup kuat bahwa nenek moyang kita tidak mempelajari ilmu fisika dalam membangun peradabannya. Mengamati teknologi-teknologi dalam peradaban nenek moyang Indonesia berupa bangunan arsitektur, navigasi pelayaran, hiburan, serta permainan masyarakat, jika ditelisik lebih lanjut seharusnya mencerminkan ilmu-ilmu yang relevan di dalam fisika. Sebagai salah satu contoh dalam bidang astronomi, terdapat daftar perbintangan/ gugusan rasi bintang yang dikenal oleh masyarakat Jawa dalam menghasilkan kalender Jawa. Bukti peradaban ini dapat menggambarkan bahwa ilmu-ilmu fisika seharusnya sudah dipahami oleh nenek moyang kita karena tidak mungkin warisan ini ada jika nenek moyang tidak menguasai ilmu yang sedang berkembang saat itu.

Berdasarkan Note of The Day yang disampaikan Bapak Marsigit, untuk dapat mengakui dunia kita harus berintrospeksi diri terhadap identitas lokal atau asal daerah dimana kita tumbuh dan berkembang. Pembelajaran fisika tidak harus selalu dipandang sebagai ilmu yang jauh dari budaya Indonesia. Fisika merupakan gejala alam yang terjadi dalam setiap kultur kebudayaan manusia. Dengan demikian, dimanapun berada, siapapun orangnya, berhak mengembangkan ilmu fisika dalam kehidupannya.


Demikianlah apa yang bisa saya refleksikan pada hasil pertemuan kuliah Filsafat kali ini. Pembelajaran berkonteks budaya seharusnya menjadi pilihan yang harus dicoba oleh segenap pendidik fisika di Indonesia. Matur nuwun.

Wabilahi taufik wal hidayah. 
Wassalamu’alaykum warahmatullohi wabarokatuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman dan Tips-Tips Lolos CPNS Dosen Kemenristekdikti

Analisis Dimensi dan Kesetaraan Besaran

Pengaruh Suasana Kelas yang Monoton dan Membosankan terhadap Proses Pembelajaran